Ada sebuah hadits yang dikenal dengan nama Hadîts an-Nuzûl.
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Imâm al-Bukhari dan al-Imâm Muslim dalam kitab
Shahih masing-masing. Redaksi hadits riwayat al-Bukhari adalah sebagai berikut:
(Shahîh al-Bukhâri; Kitâb al-Shalât, Bâb al-Du’â Wa al-Shalât Âkhir al-Layl.
Lihat pula Shahîh Muslim; Kitâb Shalât al-Musâfirîn Wa Qashruhâ; Bâb al-Targhîb
Fî al-Du’â Wa al-Dzikr Fî Âkhir al-Layl Wa al-Ijâbah Fîh.)
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
Dari : Berbagai Sumber
“Telah mengkabarkan kepada kami Abdullah ibn Maslamah, dari
Malik, dari Ibn Syihab, dari Abu Salamah dan Abu Abdillah al-Agarr, dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:
يَنْـزِلُ رَبّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيلَةٍ إلَى السّمَاءِ
الدّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ اللّيلِ الآخِر يَقُوْل: مَنْ يَدْعُونِي فَأسْتَجِيْب
لهُ وَمَن يَسْألنِي فأعْطِيه وَمنْ يَسْتَغْفِرني فأغْفِر لهُ رواه البخاري
Hadîts an-Nuzûl ini tidak boleh dipahami dalam makna
zhahirnya, karena makna zhahirnya adalah turun dari arah atas ke arah bawah,
artinya bergerak dan pindah dari satu tempat ke tampat yang lain, dan itu
mustahil pada hak Allah. Al-Imâm an-Nawawi dalam kitab Syarh Shahîh Muslim
dalam menjelaskan Hadîts an-Nuzûl ini berkata:
“Hadist ini termasuk hadits-hadits tentang sifat Allah.
Dalam memahaminya terdapat dua madzhab mashur di kalangan ulama;
Pertama: Madzhab mayoritas ulama Salaf dan sebagian ulama
ahli Kalam (teolog),
yaitu dengan mengimaninya bahwa hal itu adalah suatu yang
hak dengan makna yang sesuai bagi keagungan Allah, dan bahwa makna zahirnya
yang berlaku dalam makna makhluk adalah makna yang bukan dimaksud. Madzhab
pertama ini tidak mengambil makna tertentu dalam memahaminya, artinya mereka
tidak mentakwilnya. Namun mereka semua berkeyakinan bahma Allah Maha Suci dari
sifat-sifat makhluk, Maha Suci dari pindah dari suatu tempat ke tempat lain,
Maha Suci dari bergerak, dan Maha Suci dari seluruh sifat-sifat makhluk.
Kedua: Madzhab mayoritas ahli Kalam (kaum teolog) dan
beberapa golongan dari para ulama Salaf,
di antaranya sebagaimana telah diberlakukan oleh Malik, dan
al-Auza’i, bahwa mereka telah melakukan takwil terhadap hadits ini dengan
menentukan makna yang sesaui dengan ketentuan-ketentuannya. Dalam penggunaan
metode takwil ini para ulama madzhab kedua ini memiliki dua takwil terhadap
Hadîts an-Nuzûl di atas.
Pertama; Takwil yang nyatakan oleh Malik dan lainnya
bahwa yang dimaksud hadits tersebut adalah turunnya rahmat Allah, dan
perintah-Nya, serta turunnya para Malaikat pembawa rahmat tersebut. Ini biasa
digunakan dalam bahasa Arab; seperti bila dikatakan: “Fa’ala al-Sulthân Kadzâ…”
(Raja melakukan suatu perbuatan), maka yang dimaksud adalah perbuatan yang
dilakukan oleh bawahannya dengan perintahnya, bukan raja itu sendiri yang
melakukan perbuatan tersebut.
Kedua; takwil hadits dalam makna isti’ârah (metafor),
yaitu dalam pengertian bahwa Allah mengaruniakan dan mengabulkan segala
permintaan yang dimintakan kepada-Nya saat itu. (Karenanya, waktu sepertiga
akhir malam adalah waktu yang sangat mustajab untuk meminta kepada Allah)”
(An-Nawawi, Syarh Shahîh Muslim, juz 6, hal. 36).
Dengan demikian pendapat kaum Musyabbihah jelas batil ketika
mereka mengatakan bahwa yang dimaksud adalah turunnya Allah dengan Dzat-Nya. Di
antara dalil lainnya yang dapat membatalkan pendapat mereka ini adalah bahwa
sebagian para perawi hadits al-Bukhari dalam Hadîts an-Nuzûl ini telah
memberikan harakat dlammah pada huruf yâ’, dan harakat kasrah pada huruf zây;
menjadi “Yunzilu”, artinya; menjadi fi’il muta’addi; yaitu kata kerja yang
membutuhkan kepada objek (Maf’ûl Bih). Dengan demikian menjadi bertambah jelas
bahwa yang turun tersebut adalah para Malaikat dengan perintah Allah. Makna ini
juga seperti yang telah jelas disebutkan dalam riwayat Hadîts an-Nuzûl lainnya
dari sahabat Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy bahwa Allah telah memerintah
Malaikat untuk menyeru di langit pertama pada sepertiga akhir malam tersebut.
Dengan demikian kaum Masyabbihah sama sekali tidak dapat menjadikan hadits ini
sebagai dalil bagi mereka.
Seorang ahli tafsir terkemuka; al-Imâm al-Qurthubi, dalam
menafsirkan firman Allah: ”Wa al-Mustaghfirîn Bi al-Ashâr” (QS. Ali ’Imran:
17), artinya; ”Dan orang-orang yang ber-istighfâr di waktu sahur (akhir
malam)”, beliau menyebutkan Hadîts an-Nuzûl dengan beberapa komentar ulama
tentangnya, kemudian beliau menuliskan sebagai berikut:
“Pendapat yang paling baik dalam memaknai Hadîts an-Nuzûl
ini adalah dengan merujuk kepada hadits riwayat an-Nasa-i dari sahabat Abu
Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ عَزّ وَجَلّ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ
الأوّلِ ثُمّ يأمُرُ مُنَادِيًا فَيَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَه، هَلْ
مِنْ مُسْتَغْفِرٍ يُغْفَرُ لهُ، هَلْ مِنْ سَائِلٍ يُعْطَى
”Sesungguhnya Allah mendiamkan malam hingga lewat paruh
pertama dari malam tersebut, kemudian Allah memerintah Malaikat penyeru untuk
berseru: Adakah orang yang berdoa?! Maka ia akan dikabulkan. Adakah orang yang
meminta ampun?! Maka ia akan diampuni. Adakah orang yang meminta?! Maka ia akan
diberi.
Hadits ini dishahihkan oleh Abu Muhammad Abd al-Haq. Dan hadits ini telah menghilangkan segala perselisihan tentang Hadîts an-Nuzûl, sekaligus sebagai penjelasan bahwa yang dimaksud dengan hadits pertama (hadits riwayat al-Bukhari dan Muslim) adalah dalam makna dibuang mudlâf-nya. Artinya, yang dimaksud dengan hadits pertama tersebut ialah bahwa Malaikat turun ke langit dunia dengan perintah Allah, yang kemudian Malaikat tersebut menyeru. Pemahaman ini juga dikuatkan dengan adanya riwayat yang menyebutkan dengan dlammah pada huruf yâ’ pada kata “Yanzilu” menjadi “Yunzilu”, dan riwayat terakhir ini sejalan dengan apa yang kita sebutkan dari riwayat an-Nasa-i di atas” (Tafsîr al-Qurthubi, j. 4, h. 39).
Al-Imâm al-Hâfizh Ibn Hajar dalam kitab Syarh Shahîh
al-Bukhâri menuliskan sebagai berikut:
“Kaum yang menetapkan adanya arah bagi Allah dengan
menjadikan Hadîts an-Nuzûl ini sebagai dalil bagi mereka; yaitu menetapkan arah
atas, pendapat mereka ini ditentang oleh para ulama, karena berpendapat semacam
itu sama saja dengan mengatakan Allah bertempat, padahal Allah Maha suci dari
pada itu. Dalam makna Hadîts an-Nuzûl ini terdapat beberapa pendapat ulama”
(Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Kemudian al-Hâfizh Ibn Hajar menuliskan:
“Abu Bakar ibn Furak meriwayatkan bahwa sebagian ulama telah
memberikan harakat dlammah pada huruf awalnya; yaitu pada huruf yâ’, (menjadi
kata yunzilu) dan objeknya disembunyikan; yaitu Malaikat. Yang menguatkan
pendapat ini adalah hadits riwayat an-Nasa-i dari hadits sahabat Abu Hurairah
dan Abu Sa’id al-Khudzriy, bahwa Rasulullah bersabda:
إنّ اللهَ يُمْهِلُ حَتّى يَمْضِيَ شَطْرُ اللّيْلِ ثُمّ يأمُرُ
مُنَادِيًا يَقُوْل: هَلْ مِنْ دَاعٍ فَيُسْتَجَابُ لَه
”Sesungguhnya Allah mendiamkan waktu malam hingga lewat
menjadi lewat paruh pertama dari malam tersebut. Kemudian Allah memerintah
Malaikat penyeru untuk berseru: Adakah orang yang berdoa!! Ia akan
dikabulkan”.
Demikian pula pemahaman ini dikuatkan oleh hadits yang
diriwayatkan dari Utsman ibn al-Ash dengan redaksi sabda Rasulullah:
يُنَادِ مُنَادٍ هَلْ مِنْ دَاعٍ يُسْتَجَابُ لَهُ
”…maka Malaikat penyeru berseru: ”Adakah orang yang berdoa!
Maka akan dikabulkan baginya”.
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Oleh karena itulah al-Qurthubi berkata: “Dengan demikian segala perselisihan tentang hadits ini menjadi selesai” (Fath al-Bâri, j. 3, h. 30).
Al-Imâm Badruddin ibn Jama’ah dalam kitab Idlâh
al-Dalîl Fî Qath’i Hujaj Ahl al-Ta’thîl menuliskan sebagai berikut:
“Ketahuilah, bahwa tidak boleh memaknai an-nuzûl dalam
hadits ini dalam pengertian pindah dari satu tempat ke tempat lain, karena
beberapa alasan berikut;
Pertama: Turun dari satu tempat ke tempat lain adalah salah
satu sifat dari sifat-sifat benda-benda dan segala sesuatu yang baharu. Turun
dalam pengertian ini membutuhkan kepada tiga perkara; Benda yang pindah itu
sendiri, Tempat asal pindahnya benda itu, dan Tempat tujuan bagi benda itu.
Makna semacam ini jelas mustahil bagi Allah.
Ke Dua: Jika Hadîts an-Nuzûl dimaknai bahwa Allah turun
dengan Dzat-Nya secara hakekat, maka berarti pekerjaan turun tersebut
terus-menerus terjadi pada Allah setiap saat dengan pergerakan dan perpindahan
yang banyak sekali, supaya bertepatan dengan sepertiga akhir malam. Hal ini
karena kejadian sepertiga akhir malam terus terjadi dan bergantian di setiap
belahan bumi. Dengan demikian hal itu menuntut turunnya Allah setiap siang dan
malam dari suatu kaum kepada kaum yang lain. Hal itu juga berarti bahwa Allah
pada saat yang sama turun naik antara langit dunia dan arsy. Tentunya pendapat
semacam ini tidak akan diungkapkan oleh seorang yang berakal sehat.
Ke Tiga: Pendapat yang menyebutkan bahwa Allah
bertempat di atas arsy dan memenuhinya, bagaimana mungkin cukup bagi-Nya untuk
bertempat di langit dunia, padahal luasnya langit dibanding arsy tidak ubahnya
seperti sebesar kerikil dibanding lapangan yang luas. Dalam hal ini pendapat
sesat tersebut tidak lepas dari dua kemungkinan; Pertama: Bahwa langit dunia
setiap saat berubah menjadi besar dan luas hingga mencukupi Allah. Kedua: Atau
bahwa Dzat Allah setiap saat menjadi kecil agar tertampung oleh langit dunia
tersebut. Tentunya, kita menafikan dua keadaan yang mustahil tersebut dari
Allah.
Dengan demikian setiap ayat dan hadits mutasyâbihât yang
zahirnya seakan menunjukkan adanya keserupaan antara Allah dengan makhluk-Nya
harus ditakwil dengan makna yang sesuai dengan keagungan Allah. Atau jika tidak
memberlakukan takwil maka harus diyakini kesucian Allah dari segala sifat-sifat
makhluk-Nya” (Idlâh al-Dalîl, h. 164).
KESIMPULAN:
Allah bukan benda, dan Dia tidak disifati dengan sifat-sifat
benda. Segala apa yang terlintas dalam benak manusia tentang Allah maka Dia
tidak seperti demikian itu. Allah tidak terikat oleh dimensi; ruang dan waktu,
Dia ada tanpa tempat dan tanpa arah. Allah yang menciptakan arsy dan langit
maka Dia tidak membutuhkan kepada keduanya.
Dari : Berbagai Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar