DESA Dalampagar Ulu secara geografis terlatak diKecamatan
Martapura Timur (setelah pemekaran sekitar tahun 2004) sebelumnya Martapura
Kota. Ia adalah sebuah kampung tempat lahirnya beberapa Ulama terkenal dan ikut
serta menghiasi dan mengharumkan Kota Martapura yang berjuluk sebagai Serambi
Mekkah, tetapi maqbarah mereka tersebut banyak yang tidak begitu terekspos
media dan diketahui oleh para penduduk kota Martapura dan sekitarnya, sehingga
maqam tersebut bagaikan mutiara yang berkilau namun banyak orang yang tidak
mengetahui persisnya.
Jenjang Pendidikan : TKA/TPA Tingkat Ula Tingkat Wustho Tingkat ‘Ulya dan Wajar Dikdas. Email/Facebook : sullamululum@gmail.com Contact Person : Al Ustadz H.M. Mazani AR (0813-4826-5267) Al Ustadz H. Abdul Halim ZA. (0813-5144-6809) Rek. BNI Kanca Banjarbaru No. 0180907055 Bank Kalsel Cabang Martapura : No. 009.03.01.17433.8 BRI Kanca Martapura No. 0242.01.012172.53.6
Jumat, 30 Maret 2012
Sabtu, 10 Maret 2012
Al Alimul Fadhil Tuan Guru K.H. Zainal Ilmi al Banjary
Sejarah Singkat
KH. Zainal Ilmi atau yang lebih dikenal dengan nama Tuan
Guru Zainal Ilmi AL Banjari dilahirkan pada Jum’at malam sekitar pukul 04.30
Wita, 7 Rabiul Awwal 1304 H di Desa Dalam Pagar Martapura. Beliau merupakan
zuriat dari Tuan Guru Syech Muhammad Arsyad Al Banjari dimana Ayahnya yang
bernama H. Abdus Shamad bin H. Muhammad Said Wali, merupakan keturunan keempat
Syech Muhammad Arsyad Al Banjari atau lebih dikenal dengan nama Datu Kalampayan
sedangkan ibunya bernama Hj. Qamariyyah.
Pendidikan
Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari, sejak kecil sampai dewasa
mendapatkan banyak bimbingan ilmu dari keluarganya yang sangat kental dengan
tradisi religius Islam, sehingga iman tauhid terbina dan terpelihara di dalam
dirinya, mempunyai akhlaq yang terpuji, santun dalam berbicara serta benteng
yang kokoh dalam menegakkan perintah Allah Swt dan senantiasa dari perbuatan
yang sia-sia. Selain itu, sedari kecil Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari sudah
mempunyai ciri menjadi seorang ulama sebab beliau memiliki ahlaq yang mulia yang
tercermin dalam sikap dan perbuatan.
Sejak kecil itu pula, Tuan Guru Zainal Ilmi Al
Banjarimenyibukkan diri dengan mengisi hari-harinya dengan menuntut ilmu dan
beribadah, memelihara waktu dan mengerjakan ibadah-ibadah sunnat, menghindarkan
diri dari perbuatan syubhat. Adapun Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari dalam
menuntut ilmu, di antara Gurunya adalah orang tuanya sendiri, yakni KH. Abdus
Shamad. Padanya beliau belajar ilmu arabiyyah, fiqih, dan hadist selama kurang
lebih 6 tahun. Kemudian KH. Muhammad Amin bin Qadhi H. Mahmud, Syech
Abdurrahman Muda, KH. Abbas bin Mufti H. Abdul Jalil, KH. Abdullah bin KH.
Muhammad Shaleh, KH. Muhammad Ali bin Abdullah Al Banjari, KH. Khalid, KH.
Ahmad Nawawi, serta KH. Ismail Dalam Pagar Martapura (ayah dari KH. Abdur
Rahman Ismail, mantan Kepala Kementerian Agama Kabupaten Banjar), KH. Ahmad
Wali Kuin Banjarmasin (murid Haji Masaid Wali, Kakek dari Guru KH. Zainal
Ilmi).
Dari guru-gurunya tersebut-lah Tuan Guru Zainal Ilmi Al
Banjari mendapatkan ilmu pengetahuan agama yang kemudian beliau amalkan dalam
kehidupan sehari-hari. Menurut suatu riwayat Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari
adalah Khalifah dari Mufti Indragiri Riau yakni Syech Abdurrahman Shiddiq Al
Banjari atau lebih dikenal dengan sebutan Datu Sapat. Ketika Tuan Guru
Abdurrahman Shiddiq Al Banjari hendak berangkat ke Tembilahan Riau, Beliau
(red: Tuan Guru Abdurrahman Shiddiq Al Banjari) ditanya seseorang di Kampung
Dalam Pagar, ” Siapakah pengganti Guru di Kampung ini kalau Guru berangkat
nanti ? ”. Kemudian Beliau menjawab : ” Anang Ilmi (Tuan Guru Zainal Ilmi
Al Banjari) penggantiku, ” sambil menepuk bahu Tuan Guru Zainal Ilmi Al
Banjari.
Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari, terperanjat mendengar
keputusan sekaligus amanah dari Syech Abdurrahman Siddiq Al Banjari kepadanya.
Mulai saat bahunya ditepuk itulah, Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari tak pernah
lagi mendonggakkan wajahnya atau senantiasa menunduk.
Kedermawanan Tuan Guru
Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari memiliki perawakan gemuk
dan tidak terlalu tinggi. Meskipun demikian, Beliau sangat dihormati dikalangan
masyarakat dan kalangan ulama sendiri. Sebab bukanlah ukuran jasmani yang
mereka lihat melainkan kedalaman ilmu yang dimilki dan ahlak yang terpuji yang
sungguh mempesona dan membuat orang-orang memuliakannya. Kemudian dari pada
itu, Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari memilki jiwa sosial yang sangat tinggi,
hal ini terlihat bahwasanya Beliau suka menyantuni para faqir miskin dan
janda-janda tua. Sungguh betapa tingginya ilmu Beliau hingga menyembunyikan
sifat kedermawanannya semasa hidup hingga tiada orang lain yang mengetahuinya (
red: Cukup Allah Swt yang Maha Mengetahui) kecuali orang-orang terdekat beliau
sahaja yang mengetahuinya. Konon diceritakan, Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari
membagi-bagikannya ketika malam tiba secara sembunyi-sembunyi dan ketika pagi
menjelang, fakir miskin dan janda-janda tua yang diberikan sedekah kaget dengan
rezeki yang ada didepan rumah mereka.
Hal yang demikian, terus-menerus terjadi selama Beliau masih
hidup. Namun setelah Beliau wafat, para fakir miskin dan janda-janda tua tidak
pernah lagi mendapatkan sedekah seperti biasanya. Maka masyarakat pun menyadari
akan kemuliaan jiwa sosial Sang Guru, yang dalam memberi sedekah saja ia tak
mau menyebutkan namanya dan memperlihatkan ” tanda tangannya ”.
Karomah Tuan Guru
1) Memadamkan Kebakaran dari Jarak jauh
Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari tidak hanya memiliki
keilmuan yang mumpuni dan Ahlaq yang Mulia sahaja, namun Beliau memiliki
segudang keistimewaan diantaranya karomah atau keramat yang biasanya nampak
pada Wali-wali Allah Swt. Diantaranya disebutkan ketika Beliau mengajar
murid-muridnya di kediamannya, ditengah-tengah pengajian Beliau berkata, ” Kita
berhenti sebentar ”. Kemudian, Sang Guru masuk ke dalam kamar dan melepaskan
pakaiannya (pakaian luar), kemudian Beliau bergegas mengambil dua buah timba
dan menuju sungai di depan rumahnya. Timba itu kemudiaan diisi air dan disiram
ke jalan raya. Satu timba diguyurkan ke sebelah kanan, satu timba lainnya diguyurkan
ke sebelah kiri. Selesai melakukan hal tersebut, Tuan Guru Zainal Ilmi Al
Banjari kembali masuk ke dlam rumah dan bertemu dengan ibunya. Ibunya yang
keheranan dengan tingkah laku sang anak pun bertanya, ” Mengapa kamu siramkan
air itu kejalanan, sedangkan kamu susah payah mengambilnya dari sungai, lebih
bermanfaat air itu untuk mengisi tempat air yang kosong ? ”, kemudian Beliau
menjawab, ” Kita menolong orang yang kesusahan Bu, ada orang yang sedang
kebakaran ”. ” Apakah kebakaran ditengah jalanan ?” ujar Ibunya memertanyakan
beberapa kali.
Berselang tiga hari setelah kejadian yang diluar akal
tersebut, datanglah seseorang yang sengaja berkunjung kepada Tuan Guru Zainal
Ilmi Al Banjari dengan ungkapan yang mengagetkan orang yang mendengarnya, ” Guru,
kami sangat berterima kasih kepada Guru, bahwasanya di Kampung kami terjadi
kebakaran dan telah membawa korban beberapa rumah penduduk. Kemudian ulun
(saya) betawasul dengan meminta pertolongan kepada. Setelah itu, Guru saya
lihat datang memberikan pertolongan dengan membawa dua buah timba dan
menyiramkan air ke api tersebut hingga api tersebut padam seketika, dan inilah
keperluan saya ziarah ke sini, sekedar menyampaikan ucapan terima kasih atas
pertolongan Guru kepada kami di Kampung Sungai Salai Margasari Rantau,
Kabupaten Tapin.
2) Memenuhi Hajat Petani Durian
Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari memiliki banyak karomah
yang masih disimpan orang-orang yang pernah sezaman dengannya, begitupula
dengan ceritera turun temurun dari satu generasi ke generasi lainnya.
Diantaranya diceriterakan, ada seorang petani yang mempunyai banyak pohon
durian (kebun durian) namun pohon duriannya tersebut tak kunjung membuahkan
hasil. Hingga ia pun berhjat apabila durian miliknya tersebut berbuah, maka
akan dihadiahkannya pada Tuan Guru Zainal Imi Al Banjari. Tak lama berselang,
kebun durian milik petani itu pun akhirnya berbuah. Namun, duriannya tesebut
hanya berbuah tiga biji sahaja. Oleh karena berbuah hanya tiga biji saja, maka
si petani tetap ingin menunaikan hajatnya untuk menghadiahkan semua buah
tersebut kepada Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari. Kendati demikian, maksud hati
ingin bertemu dengan Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari ternyata tidak kesampaian
karena banyaknya kesibukan si petani pada waktu itu. Dia pun kemudian
menitipkan ketiga buah durian tersebut kepada seoarang tetangganya yang
kebetulan mau bersilaturrahmi kepada Guru Zainal Ilmi.
Di tengah perjalanan, orang yang diamanahi buah tersebut
rupanya tidak tahan menahan keinginannya untuk menciipi buah yang memiliki
aroma yang menggiurkan tersebut. Akhirnya, orang itu pun memakan satu buah
durian yang diamanahkan. Agar aksinya tak ketahuan, ketika sampai di Martapura
ia pun membeli satu buah durian untuk mengganti buah yang telah dimakannya. Dan
kemudian, dengan tenangnya ia menuju rumah Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari.
Sesampinya di rumah Sang Guru, orang terebut menyerahkan titipan si petani.
Yakni tiga biji buah durian yang satu di antaranya telah digantinya. Tuan Guru
Zainal Ilmi Al Banjari pun menyambut baik tamu tersebut dan mengambil hadiah
titipan berupa buah durian tersebut. Uniknya,
Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari hanya mengambil dua buah
durian, dan satu bijinya dibelah an disuguhkan kepada tamunya tadi. Ketika
Beliau menyuguhkan itulah Guru Zainal Ilmi berkelakar, ” Bagaimana rasanya
dengan durian yang kamu belah dan kamu makan dalam perjalanan tadi ? manis mana
dengan yang ada ini ? ”. Saat itulah, sang tamu ini menyadari bahwa orang yang
ditemuinya (red: Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari) bukanlah orang sembarangan,
bahwasanya Beliau adalah orang yang kasyaf dan diberi keistimewaan oleh Allah
Swt. Walaupun dirinya memakan buah durian titipan tersebut sangat jauh dengan
rumahnya namun Guru Zainal Ilmi dapat mengetahuinya.
Menjelang Wafatnya Tuan Guru
Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari di masa hidupnya juga
pernah diangkat sebagai penasehat badan pemulihan keamanan daerah Kabupaten
Banjar sekitar Tahun 1956, ketika terjadi pemberontakan Ibnu Hajar. Setiap
Jum’at, Beliau memberikan ceramah kepada masyarakat yang terpengaruh dengan
adanya pemberontakan tersebut.
Menjelang wafatnya Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari masih
menyempatkan waktu untuk berdakwah. Sebagaimana diceriterakan, pada waktu itu
Beliau ada jadwal mengisi ceramah di Karang Intan. Padahal disinyalir kuat Tuan
Guru Zainal Ilmi Al Banjari sudah tahu kewafatannya kia dekat. Sebab Beliau
menyuruh seseorang untuk ketempat mertuanya, mengabarkan pada istrinya yang
lagi menginap disana agar secepatnya pulang ke rumah. Dengan pesan singkat dari
Guru Zainal Ilmi, ” Cepat pulang nanti tidak sempat.”. Selain itu, pula sebelum
berangkat ke Karang Intan untuk berdakwah, Beliau berkata kepada orang yang ada
disekitarnya waktu itu, ” Nanti banyak orang, nanti banyak orang. ” Tak
lama setelah itu, Beliaupun berangkat ke Karang Intan. Setelah acara tersebut
selesai, Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari mendadak sakit dan berujung wafatnya
di tempat dakwahnya, Karang Intan, Jum’at pada tanggal 13 Dzulqaidah1375 H
bertepatan dengan 21 Juni 1956 M pada pukul 12 siang.
Ketika wafatnya Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari tersebut
musim pada waktu itu sedang kemarau. Tanah dan sungai menjadi kering, sehingga
untuk dimakamkan di Desa Kelampaian disamping makam orang tuanya mendapat
kendala yang berarti. Sebab, untuk ke Kelampaian saat itu harus melalui jalur
sungai, sedangkan sungai sebagai sarana transportasi tersebut tak dapat
digunakan karena kekeringan. Dengan demikian, muncullah inisiatif untuk
memakamkan Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari ditempat lain. Seperti, di Desa Dalam
Pagar, pun demikian ada juga inisiatif dari kalangan ABRI (sekarang TNI) yakni
Hasan Basri yang mengusulkan agar ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bumi
Kencana. Sebab, ia dianggap sebagai sesepuh angkatan bersenjata. Semua usulan
terebut disambut baik oleh ahli waris. Namun ahli waris tetap menginginkan
jasad almarhum dimakamkan di Kalampaian berdekatan dengan Datuknya Syech
Muhammad Arsyad Al Banjari, kendati hal itu mendekati tidak mungkin pada saat
itu.
Allah Swt Maha Berkehendak, tak disangka dan tak diduga
Jum’at malam (malam Sabtu) hujan turun dengan derasnya, sehingga sungai yang
tadinya kering menjadi berair hingga bisa dilewati perahu yang membawa jenazah
dan rombongan sanak keluarga yang mengiringi jenazah Tuan Guru Zainal Ilmi Al
Banjari. Dan pada hari Sabtu, 14 Dzulqaidah Tahun 1375 Hijriyah dengan suasana
yang penuh khidmat jasadnya dimakamkan di samping makam orang tuanya KH. Abdu
Shamad di Kalampaian berdekatan dengan Datuknya Syech Muhammad Arsyad Al
Banjari.
Semoga Tuan Guru Zainal Ilmi Al Banjari yang kita cintai
ditinggikan derajatnya disisi Allah SWT.
Amiin Ya Rabb
(red : memohon maaf yang sebesar-besar, minta ridho dan
minta halal apabila dalam penulisan ini terdapat kekeliruan/kesalahan
dikarenakan kurangnya pengetahuan)
Dari : Berbagai sumber
Sabtu, 03 Maret 2012
Sejarah Ilmu Nahwu
Banyak
hal yang menyebabkan ilmu nahwu disusun. Secara umum sebab nya adalah
seputar kekeliruan orang-orang Arab pada bahasa mereka yang disebabkan
bercampurnya mereka dengan orang-orang ‘ajam (non Arab) yang masuk islam
sehingga mempengaruhi tata bahasa mereka.
Diantara penyebab utama disusunnya ilmu nahwu adalah:
Pada masa Rasulullah diriwayatkan bahwa ada seseorang yang keliru
bahasanya, maka Rasulullah bersabda: “ Bimbinglah saudura kalian ini..
Sesungguhnya dia tersesat”
Berkata Abu Bakar Ash Shidiq: “Aku lebih menyukai jika aku membaca dan aku terjatuh dari pada aku membaca dan aku keliru”
Pada masa Umar bin Khattab, bahasa yang keliru di kalangan orang arab
semakin menjamur. Hal ini disebabkan karena perluasan daerah kekuasaan
Islam sehingga banyak orang-orang ‘ajam yang masuk islam.
Diantara kesalahan-kesalahan yang terjadi:
1. Umar melewati suatu kaum yang buruk lemparan (tombak) nya maka beliau mencela mereka. Mereka pun menjawab:
إِِنَّا قَوْمٌ مُتَعَلِّمِيْنَ
(Makna yang mereka inginkan adalah: “sesungguhnya kami adalah kaum
terpelajar”. Akan tetapi mereka keliru karena yang benar إِنَّا قَوْمٌ
مُتَعَلِّمُوْنَ dengan merofa’kan kata “مُتَعَلِّمِيْنَ”)
Umar
berpaling dari mereka karena marah dan berkata:”Demi Allah kesalahan
kalian pada lisan kalian lebih berat menurutku daripada kesalahan kalian
pada lemparan (tombak) kalian“.
2. Abu musa Al Asyari mengirimkan surat kepada amirul mukminin Umar bin Khathab yang tertulis di situ kalimat
مِنْ اَبُوْ مُوْسَى إِلَى أَمِيْرِ المُؤْمِنِيَْنَ عُمَرٍ بْنِ الخَطَّابِ
(Dari abu musa kepada Amirul mukminin Umar bin Khathab.
Namun secara kaidah bahasa, kalimat yang tepat مِن اَبِيْ مُوْسَى dengan menjarkan kata “اَبُوْ”
Umar membalas surat tersebut dengan: “Sebaiknya kau cambuk Juru tulis
mu (karena keliru)”. Juru tulisnya adalah Abul Hushain Al Anbary.
3. Seorang laki-laki dari gurun (badui) masuk Islam dan meminta
diajarkan sesuatu dari Al Quran. Kemudian seorang kaum muslimin
membacakan awal surat At Taubah:
أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
“…bahwa Sesungguhnya Allah dan RasulNya berlepas diri dari orang-orang musyrikin..”( At Taubah : 3)
Akan tetapi orang tersebut membacanya sebagai berikut:
أَنَّ اللّهَ بَرِيءٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلِهِ
Yaitu dengan mengkasrahkan kata رَسُوْلُ”” sehingga artinya berubah
menjadi “bahwa sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang
musyrikin dan RasulNya.”
Berkatalah orang badui tersebut:
“Apakah benar bahwa Allah berlepas diri dari Rasul Nya? Demi Allah aku
akan berlepas diri dari orang yang Allah berlepas diri darinya.”
Ketika Umar mengetahui hal tersebut, ia mengutus seseorang ke orang
tersebut dan membenarkan bacaannya dan Ia berseru kepada
manusia:”Hendaknya seseorang tidak membaca Al Quran kecuali ia
mengetahui bahasa Arab”.
Ini adalah beberapa contoh
kekeliruan-kekeliruan yang terjadi pada orang-orang arab disebabkan
bercampurnya mereka dengan orang-orang non-Arab.
Kekeliruan
ini tidak bisa dibiarkan karena dapat merusak pemahaman kaum muslimin
terhadap Al Quran sebagaimana contoh yang disebutkan di atas. Oleh
karena itu, ilmu nahwu disusun agar memudahkan seseorang dalam
mempelajari kaidah-kaidah bahasa Arab sehingga tidak keliru dalam
memahami kalimat bahasa Arab.
Pencetus Ilmu Nahwu
Ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama nahwu tentang siapa pencetus ilmu
nahwu. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa pencetus ilmu nahwu
adalah:
1. Amirul mu’minin Ali bin Abi Thalib
2. Abul Aswad Ad Du’aly atas perintah dari Khalifah Umar bin Khathab
3. Abul Aswad Ad Du’aly atas perintah Khalifah Ali bin Abi Thalib atau
atas perintah Ziyad Pemimpin Bashrah atau Abul Aswad sendiri yang
mencetuskan nya yang dipicu oleh percakapan antara beliau dan anak
perempuan nya.
Berkata anaknya: “wahai ayahku.. مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ (Apa yang paling indah dari langit?)” –
dengan merofa’kan (membaca dhammah) kata ” أَحْسَنُ ” dan menjarkan (membaca kasrah) kata “السَّمَاءِ“ .
Beliau pun menjawab:”Bintang-bintangnya”. Anaknya pun berkata:”Aku bukannya bertanya wahai ayah.. tetapi aku sedang merasa takjub..”.
Beliau pun menjawab:“Kalau begitu seharusnya yang kamu ucapkan adalah..
مَا أَحْسَنَ السَّمَاءَ (betapa langit yang indah!)” – dengan membaca
fathah kata “أَحْسَنَ ” dan “السَّمَاءَ “.
4. Abdurrahman bin Humuz Al A’raj
5. Nashr bin ‘Ashim Al Laitsy
Pendapat yang paling kuat dari pendaat-pendapat di atas adalah pendapat
yang menyebutkan bahwa pencetusnya adalah Abul Aswad Ad Du’aly atas
perintah dari Khalifah Ali Bin Abi Thalib ketika terjadi banyak
kekeliruan orang arab terhadap bahasa nya sendiri khususnya kekeliruan
mereka dalam membaca Al Quran dan Hadits.
Begitulah sejarah
lahir nya ilmu nahwu dimana bisa kita baca dengan jelas bahwa tujuan
utamanya adalah agar kaum muslimin dapat membaca Al Quran dan Hadits
dengan benar sehingga bisa memahami maksud yang terkandung di dalamnya.
Allah Subhanahu wata’ala berfirman:
“”Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2)
Imam Syafi`i rahimahullah berkata, “Manusia tidaklah menjadi bodoh dan
berselisih kecuali ketika meninggalkan bahasa Arab dan cenderung kepada
bahasa Aristoteles (bahasa orang barat).” [Siyaru A’lamin Nubala, 10/74]
Benarlah perkataan penyair yang berkata:
النَّحْوُ أَوْلَى أَوَّلاً أَنْ يُعْلَمَ.. إِذْ الكَلاَمُ دُوْنَةُ لَنْ يُفْهَمَ..
(Ilmu nahwu adalah hal pertama yang paling utama untuk dipelajari.. karena perkataan tanpanya, tak dapat dipahami..)
Yang Bener Saja... Masa Memakai Tasbih Dalam Dzikir Disamakan Dengan Kaum Nasrani?!! Membasmi Atau Menyebarkan TBC??
Ada
salah satu sekte menyebar di masyarakat kita, mereka menamakan diri
"salafi", padahal sebenarnya nama yang cocok bagi mereka adalah "talafi"
(perusak). Jargon yang biasa mereka bawa adalah "basmi TBC", "perangi
segala macam bid'ah", "Kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah" dan
kata-kata "manis" lainnya. Salah satu yang sering dapat serangan dari
mereka adalah "urusan memakai tasbih", dengan "membabi buta dan tuli"
mereka mengatakan bahwa tasbih adalah bid'ah, bahkan mereka mengatakan
bahwa yang memakai tasbih dalam dzikir sama dengan kebiasaan orang-orang
Nasrani. A'udzu Billah. Jadi, sebenarnya mereka sendiri yang terkena
TBC dan yang menyebarkan TBC.
Perkataan Sebagian Ulama Tentang Tasbih
Perkataan al-Junaid al-Baghdadi. Al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki dalam kitab
al-Ghun-yah, (Fahrasat Syuyukh al-Qadli ‘Iyadl). (Kitab berisi tentang
guru-guru al-Qadli ‘Iyadl sendiri), meriwayatkan dari salah seorang
gurunya, bahwa guru al-Qadli ‘Iyadl ini berkata:
سَمِعْتُ أَبَا
إِسْحَاقَ الْحَبَّالَ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَبَا الْحَسَنِ بْنَ
الْمُرْتَفِقَ الصُّوْفِيَّ يَقُوْلُ: سَمِعْتُ أَبَا عَمْرِو بْنَ
عَلْوَانَ وَقَدْ رَأَيْتُ فِيْ يَدِهِ سُبْحَةً فَقُلْتُ: يَا أُسْتَاذُ
مَعَ عَظِيْمِ إِشَارَتِكَ وَسَنِيِّ عِبَارَتِكَ وَأَنْتَ مَعَ
السُّبْحَةِ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ الْجُنَيْدَ بْنَ مُحَمَّدٍ
وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ
لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ أُسْتَاذِيْ بِشْرَ بْنَ الْحَارِثِ وَفِيْ يَدِهِ
سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا
رَأَيْتُ عَامِرَ بْنَ شُعَيْبٍ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ فَسَأَلْتُهُ
عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: كَذَا رَأَيْتُ أُسْتَاذِيْ
الْحَسَنَ بْنَ أَبِيْ الْحَسَنِ الْبِصْرِيَّ وَفِيْ يَدِهِ سُبْحَةٌ
فَسَأَلْتُهُ عَمَّا سَأَلْتَنِيْ عَنْهُ فَقَالَ لِيْ: يَا بُنَيَّ، هذَا
شَىْءٌ كُنَّا اسْتَعْمَلْنَاهُ فِيْ الْبِدَايَاتِ مَا كُنَّا بِالَّذِيْ
نَتْرُكُهُ فِيْ النِّهَايَاتِ، أُحِبُّ أَنْ أَذْكُرَ اللهَ تَعَالَى
بِقَلْبِيْ وَيَدِيْ وَلِسَانِيْ.
“Aku mendengar Abu Ishaq
al-Habbal berkata: Aku mendengar Abu al-Hasan ibn al-Murtafiq ash-Shufi
berkata: Aku mendengar Abu ‘Amr ibn ‘Alwan berkata ketika aku melihat
tasbih di tangannya dan aku berkata kepadanya: “Wahai Guru-ku, dengan
keagungan isyaratmu dan ketinggian tutur katamu masih juga-kah engkau
menggunakan tasbih?!”. Beliau berkata kepadaku: “Demikian ini aku
melihat al-Junaid ibn Muhammad dan di tangannya ada tasbih, lalu aku
bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka
al-Junaid berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku Bisyr ibn
al-Harits dan di tangannya ada tasbih, lalu aku bertanya kepadanya
tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka Bisyr berkata kepadaku:
Demikian ini aku melihat ‘Amir ibn Syu’aib dan di tangannya ada tasbih,
lalu aku bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku,
maka ‘Amir berkata kepadaku: Demikian ini aku melihat guruku; al-Hasan
ibn Abu al-Hasan al-Bashri dan di tangannya ada tasbih, lalu aku
bertanya kepadanya tentang apa yang engkau tanyakan kepadaku, maka
al-Hasan berkata kepadaku: “Wahai anak-ku, tasbih ini adalah alat yang
kita pakai saat kita memulai mujahadah kita, dan kita tidak akan pernah
meninggalkannya di saat kita telah sampai pada puncak tingkatan kita
sekarang. Aku ingin berdzikir; menyebut Allah dengan hati, tangan dan
lidahku” [al-Ghunyah, h. 180-181].
al-Imam an-Nawawi (w 676 H) dalam kitab Tahdzib al-Asma’ Wa al-Lughat, menuliskan sebagai berikut:
وَالسُّبْحَةُ بِضَمِّ السَّيْنِ وَإِسْكَانِ الْبَاءِ خَرَزٌ
مَنْظُوْمَةٌ يُسَبَّحُ بِهَا مَعْرُوْفَةٌ تَعْتَادُهَا أَهْلُ الْخَيْرِ
مَأْخُوْذَةٌ مِنَ التَّسْبِيْحِ.
“Subhah -dengan harakat
dlammah pada huruf sin dan ba’ yang di-sukun-kan- adalah sesuatu yang
dirangkai dan digunakan untuk berdzikir, umum diketahui dan biasa
digunakan oleh Ahl al-Khair. Subhah diambil dari kata Tasbih” [Tahdzib
al-Asma’ Wa al-Lughat, j. 3, h. 143-144].
Mari kita renungkan
perkataan al-Imam an-Nawawi: “Ta’taduha Ahl al-Khair”, artinya; Tasbih
adalah alat yang biasa digunakan oleh Ahl al-Khair, yakni biasa
digunakan oleh para Atqiya’, orang-orang yang mulia dan orang-orang
saleh, serta lainnya. Demikian juga para wali Allah menggunakannya.
Apakah pantas bila kemudian ada orang berkata: “Menggunakan tasbih
adalah kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang musyrik?!”. Hasbunallah.
al-‘Allamah asy-Syaikh Ibn ‘Allan dalam Syarh al-Adzkar, menuliskan sebagai:
وَحَاصِلُ ذلِكَ أَنَّ اسْتِعْمَالَهَا فِيْ أَعْدَادِ الأَذْكَارِ
الْكَثِيْرَةِ -الَّتِيْ يُلْهِيْ الاشْتِغَالُ بِهَا عَنْ التَّوَجُّهِ
لِلذِّكْرِ- أَفْضَلُ مِنَ الْعَقْدِ بِالأَنَامِلِ وَنَحْوِهِ،
وَالْعَقْدُ بِالأَنَامِلِ فِيْمَا لاَ يَحْصُلُ فِيْهِ ذلِكَ سِيَّمَا
الأَذْكَارُ عَقِبَ الصَّلاَةِ وَنَحْوُهَا أََفْضَلُ، وَاللهُ أَعْلَمُ.
“Kesimpulannya, bahwa menggunakan tasbih dalam bilangan atau jumlah
dzikir yang banyak -yang jika seseorang sibuk dengan bilangan yang
banyak tersebut hingga ia tidak dapat konsentrasi dalam dzikir- hal itu
lebih afdlal daripada menghitung dengan jari-jari tangan dan semacamnya.
Sedangkan menghitung dengan jari-jari tangan dalam dzikir-dzikir yang
tidak mengganggu konsentrasinya, apalagi seperti dzikir seusai shalat
dan semacamnya, maka itu lebih afdlal (dari pada menghitung dengan
tasbih)” [Syarah al-Adzkar, j. 1, h. 252].
Karenanya banyak
dari para ulama kita yang memfatwakan kebolehan berdzikir dengan
mempergunakan tasbih. Bahkan banyak pula di antara mereka yang menulis
karangan khusus tentang kebolehan berdzikir dengan tasbih ini. Di
antaranya adalah: al-Hafizh as-Suyuthi yang telah menulis risalah
berjudul al-Minhah Fi as-Subhah, al-Hafizh Ibn Thulun menulis al-Mulhah
Fima Warada Fi Ashl as-Subhah, Ibn Hamdun dalam Hasyiyah-nya, Ibn Hajar
al-Haytami dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, al-Muhaddits Muhammad
Ibn ‘Allan ash-Shiddiqi asy-Syafi’i dalam I-qad al-Mashabih Li
Masyru’iyyah Ittikhadz al-Masabih, Muhammad Amin ibn ‘Umar yang lebih
dikenal dengan nama Ibn ‘Abidin dalam Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘Ala
ad-Durr al-Mukhtar, al-Muhaddits Syekh ‘Abdullah al-Ghumari dalam Itqan
ash-Shan’ah Fi Tahqiq MA’na al-Bid’ah, al-Hafizh al-Muhaddits asy-Syekh
‘Abdullah al-Harari dalam at-Ta’aqqub al-Hatsits dan Nushrah
at-Ta’aqqub, serta masih banyak para ulama lainnya.
Kerancuan Kalangan Yang Membid’ahkan Dan Mengharamkan Tasbih
Sebagian kalangan yang mengharamkan mempergunakan tasbih secara membabi
buta karena kebodohannya berkata: “Memakai tasbih adalah kebiasaan dan
lambang orang-orang Nasrani”..
Jawab:
Hasbunallah.
Pernyataan seperti ini sangat gegabah dan sangat berlebih-lebihan. Tidak
pernah ada seorang ulama-pun yang mengatakan seperti ini. Bahkan orang
Islam awam sekali-pun tidak mengatakan demikian. Sebaliknya, seluruh
ulama Salaf dan ulama Khalaf mengatakan boleh berdzikir dengan
mempergunakan tasbih, dan karenanya banyak di antara mereka yang
mengamalkan hal itu.
Para ulama dari empat madzhab, para ulama
hadits, para Sufi dan para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, semuanya
sepakat membolehkan penggunaan tasbih dalam hitungan dzikir. Adapun
golongan yang menyempal, seperti Wahhabiyyah, yang mengharamkan
penggunaan tasbih dalam berdzikir dan menganggapnya sebagai bid’ah yang
sesat, adalah faham ekstrim yang baru datang belakangan. Jelas, faham
semacam ini menyalahi apa yang telah diyakini oleh mayoritas umat Islam.
[Lihat klaim “ahli bid’ah” terhadap orang-orang yang mempergunakan
tasbih, diungkapkan oleh salah seorang pemuka Wahhabiyyah, bernama
‘Abdullah ibn Muhammad ibn Abd al-Wahhab, dalam buku berjudul
al-Hadiyyah as-Saniyyah, h. 47]
Padahal al-Imam as-Suyuthi dalam risalah al-Minhah Fi as-Subhah menuliskan sebagai berikut:
وَقَدْ اِتَّخَذَ السُّبْحَةَ سَادَاتٌ يُشَارُ إِلَيْهِمْ وَيُؤْخَذُ
عَنْهُمْ وَيُعْتَمَدُ عَلَيْهِمْ كَأَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ، كَانَ لَهُ خَيْطٌ فِيْهِ أَلْفَا عُقْدَةٍ فَكَانَ لاَ يَنَامُ
حَتَّى يُسَبِّحَ بِهِ ثِنْتَيْ عَشْرَةَ أَلْفَ تَسْبِيْحَةٍ، قَالَهُ
عِكْرِمَةُ. وَفِيْ مَوْضِعٍ ءَاخَرَ: وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْ أَحَدٍ مِنَ
السَّلَفِ وَلاَ مِنَ الْخَلَفِ الْمَنْعُ مِنْ جَوَازِ عَدِّ الذِّكْرِ
بِالسُّبْحَةِ، بَلْ كَانَ أَكْثَرُهُمْ يَعُدُّوْنَهُ بِهَا وَلاَ
يَرَوْنَ ذلِكَ مَكْرُوْهًا.
“Tasbih ini telah dipakai oleh para
panutan kita, tokoh-tokoh ternama, ulama-ulama sumber ilmu dan sandaran
ummat, seperti sahabat Abu Hurairah. Beliau punya benang yang memiliki
dua ribu bundelan. Beliau tidak beranjak tidur hingga berdzikir
dengannya sebanyak dua belas ribu kali, seperti diriwayatkan oleh
‘Ikrimah”.
Di halaman lain as-Suyuthi berkata:
“Tidak
pernah dinukil dari seorang-pun, dari ulama Salaf dan ulama Khalaf yang
melarang menghitung dzikir dengan tasbih. Melainkan kebanyakan ulama
justru menghitung dzikir dengan menggunakan tasbih, dan mereka tidak
mengganggap hal itu sebagai perkara makruh”.
Dengan demikian,
para panutan kita terdahulu seperti yang disinggung oleh al-Imam
as-Suyuthi di atas, baik dari kalangan sahabat Nabi, para tabi’in dan
generasi-generasi setelah mereka, yang di antara mereka adalah para
ulama atqiya’ dan shalihin, mereka semua banyak yang mempergunakan
tasbih dalam menghitung bilangan dzikirnya.
Dari sini kita katakan kepada mereka yang mengharamkan penggunaan tasbih:
“Apakah kalian akan mengatakan bahwa jajaran para ulama Salaf dan para
ulama Khalaf tersebut sebagai orang-orang yang menyerupakan diri dengan
kaum Nasrani dan menghidupkan lambang-lambang mereka?! Tidakkah kalian
punya rasa malu?! Siapakah diri kalian hingga kalian berani berkata
seperti itu?! Apakah menurut kalian bahwa para ulama yang membolehkan
dan mempergunakan tasbih, seperti al-Hasan al-Bashri, al-Junaid
al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibn Hajar al-‘Asqalani, as-Suyuthi, Ibn Hajar
al-Haitami dan lainnya, bahwa mereka semua tidak memahami agama?!
Apakah menurut kalian bahwa mereka tidak mengetahui hadits mana yang
shahih dan hadits mana yang dla’if?! Apakah menurut kalian bahwa mereka
semua tidak bisa membedakan antara sunnah dan bid’ah?! Seharusnya kalian
menyadari bahwa sebenarnya kalian sendiri yang pantas disebut sebagai
“Ahli Bid’ah”.
Dari : Berbagai Sumber
Dari : Berbagai Sumber
Langganan:
Postingan (Atom)