Rabu, 29 Juni 2011

Pengumuman Penerimaan Santri Baru Tahun Pelajaran 2011/2012


MADRASAH “SULLAMUL ‘ULUM”
DALAMPAGAR ULU MARTAPURA TIMUR KAL IMANTAN SELATAN
Tingkat Diniyah Wustho – Tingkat Diniyah 'Ulya 

PENGUMUMAN
Nomor : 01-PSB/SU/D/W.U./07/2011

Madrasah Diniyah “Sullamul Ulum” Dalampagar Ulu Martapura Timur Kalimantan Selatan berdiri sejak tgl. 14 Syawwal 1350 H bertepatan dengan tanggal 01 Juni 1931 M berstatus swasta dan otonom tidak berafaliasi dengan organisasi keagamaan dan politik tertentu.

Bertujuan :
Misi dan Visi didirikannya oleh para Ulama dan tokoh masyarakat pada waktu itu, adalah untuk membina insan ilmiyah religius dan bertaqwa kepada Allah SWT serta melestarikan dan mengamalkan nilai-nilai Islam Ahlussunnah Waljama’ah.

Dalam Perkembangannya :
  1. Hasil lulusan dan alumni pertama sampai tahun ke- 38 saat ini yang tersebar dibeberapa daerah propinsi kawasan Kalimantan kini telah berhasil menjadi panutan masyarakat sekitarnya.
  2. Madrasah "Sullamul 'Ulum" mempunyai beberapa tingkatan dan berada dibawah naungan Pondok Pesantren “Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary”.
  3. Bagi para santri yang berprestasi dikelasnya, mendapat prioritas untuk diikutsertakan dalam kegiatan dan perlombaan yang bersifat ilmiyah dan mendapatkan bantuan pendidikan.

Sarana dan Prasarana :
Bagi santri yang datang dari luar daerah disediakan asrama dan rumah sewaan milik penduduk sekitar Madrasah.

Diluar pelajaran formal pagi dari jam 08.00 s/d. 12.00 diadakan Majelis Ta’lim baik diruang Aula Madrasah maupun dirumah-rumah dewan asatidzah (waktu ba’da Magrib, Isya, dan Ashar)

Gedung Madrasah berdiri ditengah-tengah Desa Dalampagar Ulu Kecamatan Martapura Timur dengan konstruksi beton dua tingkat. Terletak dipinggir jalan Desa Dalampagar Ulu, jarak dari ibukota Kab. Banjar (Martapura Kota) sekitar 3 (tiga) kilometer. Dan dapat dijangkau dengan kendaraan roda dua dan roda empat.

MENERIMA PARA SANTRI BARU TINGKAT WUSTHO & 'ULYA
TAHUN PELAJARAN 2011 / 2012


TINGKAT DINIYAH WUSTHO

I. Santri (dari dalam lingkungan ponpes) lulusan tingkat Diniyah Awwaliyah Madrasah Sullamul Ulum yang meneruskan kejenjang Tingkat Wiustho persyaratan sebagai berikut :

  1. Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp. 75,000 (tujuh puluh lima ribu rupiah) rincian terlampir di formulir pendaftaran.
  2. Mengisi formulir pendaftaran yang disediakan 
  3. Melampirkan photo copy ijazah terakhir.
  4. Melampirkan pas photo 3x4 sebanyak 3 (tiga) lembar.
  5. Menandatangani ikrar / baiat santri.
  6. Diantar dan didampingi oleh orang tua/walinya.

II. Calon santri lulusan tingkat Ibtidaiyah / Awwaliyah (Negeri dan Swasta) dari luar madrasah dengan persyaratan :

  1. Photo copy ijazah terakhir satu lembar.
  2. Melampirkan Pas photo 3x4 sebanyak 3 (tiga) lembar.
  3. Mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan 
  4. Membayar biaya pendaftaran yang telah ditetapkan sebesar Rp. 250,000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) rincian biaya terlampir di formulir pendaftaran (termasuk SPP 1 bulan )
  5. Menandatangani baiat / ikrar sebagai santri.
  6. Memperlihatkan surat idzin tinggal sementara dari Pambakal Dalampagar Ulu (bagi calon santri yang akan memondok)
  7. Diantar dan didampingi oleh orang tua/walinya.

TINGKAT DINIYAH 'ULYA

I. Calon santri (dari dalam lingkungan ponpes) lulusan dari tingkat Diniyah Wustho Madrasah “Sullamul ‘Ulum” dengan persyaratan :

  1. Membayar biaya pendaftaran sebesar Rp.75,000 (tujuh puluh lima ribu rupiah) rincian terlampir diformulir pendaftaran
  2. Mengisi formulir pendaftaran yang disediakan 
  3. Melampirkan photo copy ijazah terakhir.
  4. Melampirkan pas photo 3x4 sebanyak 3 (tiga) lembar.
  5. Menandatangani ikrar / baiat santri.
  6. Diantar dan didampingi oleh orang tua/walinya.

II. Calon santri tamatan Tsanawiyah/Wustho ( Negeri / dan Swasta) dari luar madrasah dengan persyaratan :

  1. Photo copy ijazah terakhir satu lembar.
  2. Pas photo ukuran 3x4 sebanyak 3 (tiga) lembar.
  3. Mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan Panitia Penerimaan Santri Baru.
  4. Membayar biaya pendaftaran yang telah ditetapkan sebesar Rp.250.000 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) rincian biaya terlampir di formulir pendaftaran (termasuk SPP 1 bulan)
  5. Menandatangani baiat / ikrar sebagai santri.
  6. Memperlihatkan surat idzin tinggal sementara dari Pambakal Dalampagar Ulu (bagi calon santri yang akan memondok)
  7. Diantar dan didampingi oleh orang tua/walinya.

WAKTU DAN TEMPAT PENDAFTARAN

  1. Waktu pendaftaran dibuka sejak tanggal 01 Juli 2011 sampai dengan 31 Juli 2011.
  2. Pendaftaran untuk tingkat Diniyah Wustho kepada Ust. H. Abdul Halim ZA. ( Kepala Tingkat Diniyah Wustho )
  3. Untuk tingkat Diniyah 'Ulya kepada Ust. HM. Mazani AR. (Kepala Tingkat Diniyah Ulya )
  4. Tempat pendaftaran di Kantor Madrasah Sullamul ‘Ulum tiap hari kerja mulai jam 08.00 s/d. 12.00 atau dapat menemui dirumah kediaman Kepala Madrasah masing-masing tingkat.

HAL-HAL LAIN

Calon santri dari luar tingkatan dimadrasah Sullamul Ulum yang mendaftar akan dilakukan TESTING untuk menetapkan kelas dan tingkatnya.
Hal - hal lain yang belum jelas dapat ditanyakan langsung ketika mendaftar.

Dikeluarkan di : Dalampagar Ulu
Pada tanggal : 30 Rajab 1432 H.

Kepala Diniyah Wustho,               Kepala Diniyah 'Ulya
(H. Abdul Halim ZA)                     (H.M. Mazani AR)



Rabu, 22 Juni 2011

Guru Para Ahli Falak Indonesia


KH TURAICHAN KUDUS
Guru para Ahli Falak Indonesia

Penanggalan adalah alat ukur yang disepakati oleh setiap orang sebagai penentu kejadian-kejadian di sekeliling mereka. Karena masyarakat Indonesia mengenal dua jenis penanggalan, yakni penanggalan Qomariyah (berdasarkan edar Bulan) dan Syamsiyah (berdasarkan edar Matahari), maka menjadi cukup pelik untuk menyatukan keduanya.

Kepelikan ini dikarenakan penanggalan Qomariyah memiliki dua metode penentuan, yakni metode hisab(hitungan) dan rukyah (melihat) langsung wujud hilal (bulan sabit). Karena penanggalan Islam (syariah) didasarkan pada penanggalan Qomariyah maka tentu saja segala peristiwa-peristiwa keagamaan ditentukan berdasarkan penanggalan Qomariyah. Artinya jadwal dapat ditentukan dengan dua metode penentuan waktu pada sistem penanggalan ini. Padahal hasil dari masing-masing metode seringkali berbeda. Perangkat keilmuan yang digunakan untuk menentukan jadwal penanggalan syar’i inilah yang disebut sebagai ilmu falak. Maka tokoh-tokoh ilmu dan pengambil keputusan jadwal-jadwal penanggalan syar’i juga kemudian desebut sebagai ahli falak.

Ketika terjadi peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat dengan hasil penentuan yang berbeda, maka umat pun biasanya menjadi terpecah, karena masing-masing pihak memiliki argumen dan landasan hukum yang biasanya juga dianggap sama-sama kuat dan valid.

Perselisihan menjadi semakin komplek manakala masing-masing pihak yang berbeda pendapat lebih mengedepankan ego masing-masing kelompoknya. Perbedaan penentuan ini kemudian menjadi semakin meruncing karena dianggap sebagai perbedaan akidah. Kondisi demikian ini terus berlarut-larut terjadi dalam kehidupan umat Islam Indonesia.

Di tengah kondisi yang demikian, tentu umat membutuhkan panutan yang dapat mereka ikuti. Seorang figur yang dapat mempertanggungjawabkan pendapatnya serta tidak menimbulkan persengketaan berkepanjangan dan bertele-tele. Singkatnya, umat membutuhkan seorang pemimpin yang mampu mengayomi dan meredam konflik.

Dalam hal ini, umat Islam Nusantara memilik salah seorang tokoh falak dari kota Kudus Jawa Tengah yang cukup mumpuni dan layak diteladani. Beliau adalah KH. Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi, yang semasa hidupnya dipercayai menjadi Ketua Markas Penanggalan Jawa Tengah.

Ulama kelahiran Kudus, 10 Maret 1915 ini adalah putera Kiai Adjhuri dan Ibu Nyai Sukainah. Terlahir di lingkungan agamis kota santri, sebagai anak yang membekali dirinya dengan belajar melaui sistem tradisional masyarakat yang telah turn-temurun dijalani keluarga dan teman-teman di sekitarnya. Mengaji pada para Kiyai dan ulama di sekitar tempat tinggalnya dan memulai pendidikan formal di daerah setempat tanpa mengurangi menimba ilmu dalam sistem tradisional. Satu hal yang menjadi ciri Mbah Tur, Sapaan akrabnya, dibanding tokoh-tokoh dari daerah lain adalah bahwa Beliau tidak pernah mondok di sebuah pesantren sebagai santri yang diasramakan. Meski sebenarnya hal ini lazim bagi para ulama di daerah asalnya, namun tidaklah demikian halnya dengan para ulama yang berasal dari daerah-daerah Nusantara lainnya.

Kiai Turaichan hanya mengenyam pendidikan formal selama dua tahun saja, yakni ketika berusia tiga belas hingga lima belas tahun. Tepatnya di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS) Kudus pada kisaran tahun 1928 M. yakni sejak madrasah tersebut didirikan. Namun karena kemampuannya yang melebihi rata-rata, maka beliau justru diperbantukan untuk membantu palaksanaan belajar mangajar. Namun demikian Beliau tetap melanjutkan menuntut ilmu dalam garis tradisional (non formal).

Sejak mulai mengajar di Madrasah TBS Kudus inilah, Kiai Turaichan mulai aktif di dunia pergerakan. Dalam arti Beliau mulai melibatkan diri dalam dunia dakwah kemasyarakatan dan diskusi-diskusi ilmiah keagamaan. Mulai dari tingkat terendah di kampung halaman sendiri, hingga tingkat nasional.

Sejak saat itu pula Beliau mulai turut aktif terlibat dalam forum-forum diskusi Batsul Masail pada muktamar-muktamar NU. Kecerdasan dan Keberaniannya mengungkapkan argumen telah terlihat sejak awal keterlibatannya dalam forum-forum tersebut. Ia tanpa segan-segan mengungkapkan pendapatnya di depan siapa pun tanpa merasa pekewuh jika pendapatnya berbeda dengan pendapat ulama-ulama yang lebih senior, seperti KH. Bisri Sansuri dari Pati yang kemudian mendirikan Pesantren Denanyar Jombang.

Kiprahnya Mbah Tur juga telihat dalam dunia politik di tingat pusat. Beberapa kali Kiai Turaichan ditunjuk menjadi panitia Ad Hoc oleh pimpinan Pusat Partai NU. Sementara di daerahnya sendiri, tercatat Beliau menjadi Rais Syuriyah Pimpinan Cabang. Pernah juga dipercaya menjadi qodhi (hakim) pemerintah pusat pada tahun 1955-1977 M.

Namun spesifikasi keilmuan yang menjadikannya sedemikian populer dan kharismatis adalah di bidang falak. Hal ini dikarenakan Kiai Turaichan sedemikian teguh dalam memegang pendapatnya. Beliau tergabung dalam tim Lajnah Falakiyyah PBNU. Beberapa kali terlibat silang pendapat dengan pendapat ulama-ulama mayoritas, namun ia tetap kukuh mempertahankan pendapatnya. Terbukti kemudian, pendapat-pendapatnya lebih banyak yang sesuai dengan kenyataan. Hal inilah yang membuat kharisma dan kealiman serta ketelitian Beliau semakin diperhitungkan. Hingga Kiai Turaichan kemudian lebih dikenal sebagai ahli falak yang sangat mashur di Indonesia, dan mempunyai banyak murid menekuni ilmu falakiyah hingga sekarang.

Selanjutnya, Mbah Tur tidak pernah absen dalam muktamar-muktamar NU, kecuali sedang udzur karena kesehatan. Belakangan, ketika terjadi perubahan asas dasar NU dari asas Ahlussunnah wal Jamaah menjadi asas Pancasila, Mbah Tur menyatakan mufaroqoh (memisahkan diri) dari Jamiyyah (keorganisasian NU).

Hal yang menarik di sini adalah, meski telah menyatakanmufaroqoh secara keorganisasian namun Beliau tetap dipercaya sebagai Rais Suriyah di tingkat Cabang. Sedangkan untuk tingkat Pusat Kiai Turaichan memang tidak lagi aktif seperti dahulu. Karenanya, Kiai Turaichan kemudian mempopulerkan istilah ”Lokalitas NU” yang berarti tetap setia untuk eksis memperjuangkan Jam’iyyah NU dalam skala lokal, yakni di NU cabang Kudus saja. Untuk tingkat yang lain (lebih tinggi), Beliau telah menyatakan mufaroqoh. Bahkan seringkali Beliau juga seringkali memiliki pendapat-pendapat falakiyah (penetapan tanggal suatu kejadian yang berbeda dengan garis kebijakan PBNU, dan karena telah menyatakan mufaroqoh, maka beliau tidak merasa terikat oleh keputusan apa pun yang dibuat oleh PBNU.

Kendati demikian, Kiai Turaichan tetap menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang sering menolak keputusannya. Bahkan Beliau selalu bersikap akomodatif kepada pemerintah, walaupun pemerintah pernah beberapa kali mencekalnya karena mengeluarkan pernyataan berbeda dengan pemerintah perihal penentuan awal bulan Syawal. Termasuk akan menyidangkannya ke pengadilan pada tahun 1984, ketika menentang perintah pemerintah untuk berdiam diri di rumah saat terjadi gerhana Matahari total pada tahun tersebut. Alih-alih menaati, Beliau justru mengajak untuk melihat peristiwa tersebut secara langsung dengan mata kepala telanjang.

Pada waktu terjadi peristiwa gerhana Matahari total tersebut, Mbah Tur memberi pengumuman kepada umat Muslim di Kudus, bahwa gerhana Matahari total adalah fenomena alam yang tidak akan menimbulkan dampak (penyakit) apapun bagi manusia jika iengin melihatnya, bahkan Allah-lah yang memerintahkan untuk melihatnya secara langsung. Hal ini dikarenakan redaksi pengabaran fenomena yang menunjukkan keagungan Allah ini difirmankan oleh Allah menggunakan kata ”abshara”. Artinya, perintah melihat dengan kata ”abshara” adalah melihat secara langsung dengan mata, bukan makna denotatif seperti mengamati, meneliti dan lain-lain, meskipun memang ia dapat berarti demikian secara lebih luas.

Pada hari terjadinya gerhana matahari total di tahun tersebut, Kiai Turaichan tengah berkhutbah di Masjid al-Aqsha, menara Kudus. Tiba-tiba di tengah-tengah Beliau berkhutbah, Beliau berkata kepada seluruh jamah yang hadir, ”Wahai Saudara-saudara, jika Kalian tidak percaya, maka buktikan. Sekarang peristiwa yang dikatakan menakutkan, sedang berlangsung. Silahkan keluar dan buktikan, bahwa Allah tidak menciptakanbala’ atau musibah darinya. Silahkan. Keluar dan saksikan secara langsung!” Maka, para Jamaah pun lantas segera berhamburan keluar, menenagadah ke langit dan menyaksikan secara langsung dengan mata kepala telanjang terjadinya gerhana Matahari total.

Setelah beberapa saat, para jamaah kembali ke tempatnya semula, acara khutbah khushufusy Syamsy pun dilanjutkan dan tidak terjadi suatu musibah apa pun bagi mereka semua. Namun karena keberaniannya ini, Kiai Turaichan harus menghadap dan mempertanggungjawabkan tindakannya di depan aparat negara yang sedemikian represif waktu itu. Meski demikian sama sekali Kiai Turaichan tidak menunjukkan tabiat mendendam terhadap pemerintah.

Bahkan hingga menjelang akhir hayatnya pada 20 Agustus 1999, Mbah Tur termasuk ulama yang sangat antusias mendukung undang-undang pencatatan nikah oleh negara yang telah berlaku sejak tahun 1946 tersebut. Beliau sangat getol menentang praktik-praktik nikah Sirri atau di bawah tangan. Menurutnya, selama hukum pemerintah berpijak pada kemaslahatan umat dan tidak bertentangan dengan syariat Islam, maka wajib bagi seluruh umat muslim yang menjadi warga negara Indonesia untuk menaatinya. Artinya pelanggaran atas suatu peraturan (undang-undang) tersebut adalah juga dihukumi sebagai kemaksiatan terhadap Allah. Demikian pun menaatinya, berarti adalah menaati peraturan Allah. (Syaifullah Amin)

Sekilas SYEIKH NAWAWI AL BANTANI



Kemasyhuran dan nama besar Syeikh Nawawi al-Bantani kiranya sudah tidak perlu diragukan lagi. Melalui karya-karyanya, kira-kira mencapai 200-an kitab, ulama kelahiran Kampung Tanara, Serang, Banten, 1815 M ini telah membuktikan kepada dunia Islam akan ketangguhan ilmu ulama-ulama Indonesia.


Para ulama di lingkungan Masjidil Haram sangat hormat kepada kealimannya. Bahkan ketika Syeikh Nawawi berhasil menyelesaikan karyanya Tafsir Marah Labid, para ulama Mekkah serta merta memberikan penghormatan tertinggi kepadanya. Pada hari yang telah ditentukan para ulama Mekah dari berbagai penjuru dunia mengarak Syeikh Nawawi mengelilingi Ka`bah sebanyak tujuh kali sebagai bukti penghormatan mereka atas karya monumentalnya itu.

Nama Imam Nawawi begitu dominan, terutama dalam lingkungan ulama-ulama Syafi'iyah. Beliau sangat terkenal kerana banyak karangannya yang dikaji pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Nama ini adalah milik Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syirfu an-Nawawi yang dilahirkan di Nawa sebuah distrik di Damaskus Syiria pada bulan Muharram tahun 631 H.

Pada penghujung abad ke-18 lahir pula seseorang yang bernama Nawawi di Tanara, Banten. Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Anak sulung seorang ulama Banten, lahir pada tahun 1230 H/1814 M di Banten dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi.

Ketika kecil, sempat belajar kepada ayahnya sendiri, kemudian memiliki kesempatan belajar ke tanah suci. Datang ke Mekah dalam usia 15 tahun dan meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir. Tidak diketahui secara pasti, berapa lama Imam Nawawi mengembara keluar dari Mekah kerana menuntut ilmu hingga kembali lagi ke Mekah. Keseluruhan masa tinggal di Mekah dari mulai belajar, mengajar dan mengarang hingga sampai kemuncak kemasyhurannya lebih dari setengah abad lamanya.

Karena Syeikh Nawawi yang lahir di Banten ini juga memiliki kelebihan yang sangat hebat dalam dunia keulamaan melalui karya-karya tulisnya, maka kemudian ia diberi gelar Imam Nawawi kedua (Nawawi ats-Tsani). Orang pertama memberi gelar ini adalah Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani. Gelar ini akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis riwayat ulama asal dari Banten ini. Sekian banyak ulama dunia Islam sejak sesudah Imam Nawawi pertama, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syirfu (wafat 676 Hijrah/1277 Masehi) hingga saat ini, belum pernah ada orang lain yang mendapat gelaran Imam Nawawi kedua, kecuali Syeikh Nawawi yang kelahiran Banten (Imam Nawawi al-Bantani).

Meskipun demikian masyhurnya nama Nawawi al-Bantani, namun Beiau adalah sosok pribadi yang sangat tawadhu’. Terbukti kemudian, meskipun Syeikh Nawawi al-Bantani diakui alim dalam semua bidang ilmu keislaman, namun dalam dunia tarekat para sufi, tidak pernah diketahui Beliau pernah membaiat seorang murid pun untuk menjadi pengikut thariqah. Hal ini dikarenakan, Syeikh Ahmad Khathib Sambas (Kalimantan), guru Thariqah Syeikh Nawawi al-Bantani, tidak melantiknya sebagai seorang mursyid Thariqat  Qadiriyah-Naqsyabandiyah. Sedangkan yang dilantik ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani, sepupu Syeikh Nawawi al-Bantani, yang sama-sama menerima thariqat itu dari Syeikh Ahmad Khathib Sambas. Tidak diketahui secara pasti penyebab Nawawi al-Bantani tidak dibaiat sebagai Mursyid. Syeikh Nawawi al-Bantani sangat mematuhi peraturan, sehingga Beliau tidak pernah mentawajuh/membai'ah (melantik) seorang pun di antara para muridnya, walaupun sangat banyak di antara mereka yang menginginkan untuk menjalankan amalan-amalan thariqah.

Guru-gurunya

Di Mekah Syeikh Nawawi al-Bantani belajar kepada beberapa ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang dapat dicatat adalah sebagai berikut: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dimyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani dan lain-lain.

Murid-muridnya

Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab.

Murid-muridnya yang berasal-dari Nusantara banyak sekali yang kemudian menjadi ulama terkenal. Di antara mereka ialah, Kiai Haji Hasyim Asy'ari Tebuireng, Jawa Timur; Kiai Haji Raden Asnawi Kudus, Jawa Tengah; Kiai Haji Tubagus Muhammad Asnawi Caringin, Banten; Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi (Sumba, Nusa Tenggara); Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan lain-lain. Tok Kelaba al-Fathani juga mengaku menerima satu amalan wirid dari Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani yang diterima dari Syeikh Nawawi al-Bantani.

Salah seorang cucunya, yang mendapat pendidikan sepenuhnya dari nawawi al-Bantani adalah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 H./1868 M.- 1324 H./1906 M.). Banyak pula murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin perlawanan Perjuangan di Cilegon ialah Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Para ulama pejuang bangsa ini adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikader di Mekkah. (Syaifullah Amin)


Dari Berbagai Sumber

Nomor Kelulusan

Lampiran I :

Surat Keputusan Kepala Madrasah tentang penetapan peserta Naik/LULUS tingkat Diniyah Wustho & tingkat Diniyah Ulya Madrasah Sullamul Ulum tahun pelajaran 2010/2011
Nomor : 07-Kep/UAM/SU/D/W.U./06/2011

No.
Kelas / Tingkat
Nomor Peserta Ditetapkan Naik/ Lulus
Keterangan
01
I (satu) A & B
Diniyah Wustho
001, 002, 003, 004, 005, 006, 007, 008, 009, 010, 011, 012, 013, 014, 015, 016, 017, 018, 019, 020, 021, 022, 023, 024, 026, 027, 028, 029, 030, 031, 032, 033,  035, 036, 038, 039, 040, 041, 042, 043, 044, 045, 046, 047, 048, 049, 050, 051, 052, 053, 054, 055, 056, 057, 058, 059, 060, 061, 062, 063, 064, 065, 066, 067, 068, 069, 070, 071, 072, 073, ------------------





02
II (dua) A & B
Diniyah Wustho
074, 075, 076, 077, 078, 079, 080, 081, 082, 083, 084, 085, 086, 087, 088, 089, 090, 091, 092, 093, 094, 095, 096, 097, 098, 099, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109,  110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 121,  122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134,  135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142 ---------





03
III (tiga)
Diniyah Wustho
143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 174, 175, 176, 177, 178, 179, 180, 181, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 188, 189 





04
I (satu)
Diniyah Ulya
190, 191, 192, 193, 194, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 220, 221, 222, 223, 224  ------------





05
II (dua)
Diniyah Ulya
225, 226, 227, 228, 229, 231, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 249, 250, 251, 252, 253, 254, 255, 256, 257,  258,  259, 260, 261,  262,  263, 264, --





06
III (tiga)
Diniyah Ulya
265, 266, 267, 268, 269, 270, 271, 272, 273, 274, 275, 276, 277, 278, 279, 280, 281, 282, 283, 284, 285, 286, 287, 288, 289, 290, 291, 292, 293, 294, 295, 296,  297,  298, 299 -


Ditetapkan di   : Dalampagar Ulu
Pada tanggal   : 18 Rajab 1432 H.
 20  J u n i  2011 M.
                                                                                            
                                                                                                                                                                           
Kepala Tingkat Diniyah Wustho,                        Kepala Tingkat Diniyah ‘Ulya,

      H. Abdul Halim ZA.                                            H.M. Mazani AR.