Rabu, 16 November 2011

Jangan Sembarangan Mengkafirkan Orang Yang Bertawassul

Ada kelompok di masyarakat kita membawa jargon "basmi TBC", mereka menamakan diri "Salafi", saya lebih suka menyebut mereka "Talafi" (Perusak). Kata-kata "manis" yang sering mereka dengungkan; "Kita Berangus bid'ah", "Kita hanya mengambil al-Qur'an dan Sunnah", dan lainnya. Banyak hal-hal yang telah mapan di kalangan umat Islam oleh mereka "dimejahijaukan", salah satunya adalah masalah tawassul.Seringkali dengan sangat ringan keluar kata-kata dari mulut mereka: "Orang yang tawassul adalah orang kafir". Heh .. Mereka mau mambasmi atau malah menyebarkan "TBC"?!
Berikut ini kita kemukakan dalil-dalil tentang disyari'atkannya tawassul dan Istighotsah secara lebih detail:
1. Hadits tentang orang buta yang datang kepada Rasulullah mengadukan   kebutaannya. Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam al Mu'jam al Kabir dan al Mu'jam ash-Shaghir dan beliau mensahihkannya. Juga diriwayatkan oleh at-Turmudzi, al Hakim dan lainnya. Hadits ini juga dishahihkan oleh al Hafizh at-Turmudzi dari kalangan ahli hadits mutaqaddimin, juga al Hafizh an-Nawawi, al Hafizh Ibn al Jazari dan ulama Muta-akhkhirin yang lain.
Masalah:
Jika si Wahabi berkata bahwa makna:
"اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلى ربي في حاجتي لتقضى لي".
Adalah:
"اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بدعاء نبينا محمد نبي الرحمة ...".
Dengan dalil kata Nabi di awal hadits:
"إن شئت صبرت وإن شئت دعوت لك".
"Jika engkau mau engkau bisa bersabar, dan jika engkau mau aku akan mendoakan kamu".
dan itu artinya orang tersebut memohon doa kepada Nabi ketika beliau masih hidup dan itu jelas bisa, sedangkan yang dilakukan oleh orang yang bertawassul adalah meminta didoakan dari orang yang sudah mati atau hidup tapi tidak di hadapannya dan hal ini tidak diperbolehkan!

Jawab:
Bahwa dalam jaringan hadits tersebut tidak disebutkan bahwa Nabi benar-benar mendoakan orang buta tersebut, yang disebutkan dalam riwayat tersebut bahwa setelah orang buta itu pergi ke tempat wudlu ', Rasulullah melanjutkan ta'lim beliau sampai orang buta tersebut datang kembali dalam kondisi sudah bisa melihat sebagaimana disebutkan oleh perawi hadits tersebut:

"ففعل الرجل ما قال, فو الله ما تفرقنا ولا طال بنا المجلس حتى دخل علينا الرجل وقد أبصر كأنه لم يكن به ضر قط".

"Orang buta tersebut melaksanakan petunjuk Rasulullah, dan demi Allah kita belum lama berpisah dan belum lama majelis Rasulullah bertahan sampai orang buta tersebut kembali datang ke majelis dan telah bisa melihat seakan sebelumnya tidak pernah terkena kebutaan sama sekali".

Dari penegasan sahabat ini diketahui bahwa maksud kata Nabi di awal hadits adalah bahwa beliau akan mengajarkan doa kepada orang buta tersebut, bukan mendoakannya secara langsung:

"... وإن شئت دعوت لك" أي علمتك دعاء تدعو به.

Jadi pemaknaan yang dilakukan dengan taqdir (بنبينا: بدعاء نبينا) itu tidak benar karena memang tidak ada dalilnya. Jadi bertawassul dengan Nida 'sekalipun tidak di depan seorang Nabi atau wali adalah bisa seperti jelas-jelas disebutkan dalam hadits tersebut tanpa ditakwil-takwil dan tanpa perlu taqdir kalimat tertentu.

Manfaat Hadits:
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para nabi dan wali yang masih hidup tanpa berada di depan mereka. Hadits ini juga menunjukkan bolehnya bertawassul dengan para nabi dan wali, baik ketika masih hidup maupun sudah meninggal. Jadi hadits yang sahih ini membantah kata sebagian orang bahwa bertawassul hanya bisa dengan al Hayy al Hadlir (Nabi atau Wali yang masih hidup dan tawassul dilakukan di hadapannya) dengan meminta doanya.

2.  Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya dari Abu Sa'id al Khudri-semoga Allah meridlainya-, ia berkata, Rasulullah bersabda:

"من خرج من بيته إلى الصلاة فقال: اللهم إني أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا ولا بطرا ولا ريآء ولا سمعة خرجت اتقاء سخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تنقذني من النار وأن تغفر لي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت, أقبل الله عليه بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك "(رواه أحمد في المسند والطبراني في الدعاء وابن السني في عمل اليوم والليلة والبيهقي في الدعوات الكبير وغيرهم وحسن إسناده الحافظ ابن حجر والحافظ أبو الحسن المقدسي والحافظ العراقي والحافظ الدمياطي وغيرهم).

Maknanya: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) kemudian ia berdo'a:" Ya Allah sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dengan derajat orang-orang yang saleh yang berdoa kepada-Mu (baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal) dan dengan derajat langkah-langkahku ketika berjalan ini, sesungguhnya aku keluar rumah bukan untuk menunjukkan sikap angkuh dan sombong, juga bukan karena riya 'dan sum'ah, aku keluar rumah untuk menjauhi murka-Mu dan mencari ridla-Mu, maka aku memohon kepada-Mu: selamatkanlah aku dari api neraka dan ampunilah dosa-dosaku, sesungguhnya tidak ada yang mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau, maka Allah akan meridlainya dan tujuh puluh ribu malaikat memohonkan ampun untuknya "(HR Ahmad dalam" al Musnad " , ath-Thabarani dalam "ad-Du'a", Ibn as-Sunni dalam "'Amal al Yaum wa al-laylah", al Bayhaqi dalam Kitab "ad-Da'awat al Kabir" dan selain mereka, sanad hadits ini dihasankan oleh al Hafizh Ibnu Hajar, al Hafizh Abu al Hasan al Maqdisi, al Hafizh al 'Iraqi, al Hafizh ad-Dimyathi dan lain-lain).

Manfaat Hadits:
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dengan para shalihin, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Dalam hadits ini pula Nabi shallallahu 'alayhi wasallam mengajarkan untuk menggabungkan antara tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah (seorang nabi atau wali dan orang-orang saleh) dan tawassul dengan amal saleh, ia tidak membedakan antara keduanya, tawassul jenis pertama hukumnya bisa dan yang kedua juga bisa.Dalam hadits ini tawassul dengan adz-Dzawaat al Faadlilah ada pada kata (بحق السائلين عليك) dan tawassul dengan amal saleh ada di kata (وبحق ممشاي هذا).

3.      Hadits riwayat al Bayhaqi, Ibnu Abi Syaibah dan lainnya:
عن مالك الدار وكان خازن عمر قال: أصاب الناس قحط في زمان عمر فجاء رجل إلى قبر النبي فقال: يا رسول الله, استسق لأمتك فإنهم قد هلكوا, فأتي الرجل في المنام فقيل له: أقرئ عمر السلام وأخبره أنهم يسقون, وقل له عليك الكيس الكيس , فأتى الرجل عمر فأخبره, فبكى عمر وقال: يا رب لا آلو إلا ما عجزت.

Maknanya: "paceklik datang di masa Umar, maka salah seorang sahabat yaitu Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi dan mengatakan: Wahai Rasulullah, mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu karena sungguh mereka benar-benar telah binasa, kemudian orang ini bermimpi bertemu dengan Rasulullah dan Rasulullah berkata kepadanya: "Sampaikan salamku kepada Umar dan beritahukan bahwa hujan akan turun untuk mereka, dan katakan kepadanya" bersungguh-sungguhlah dalam melayani ummat ". Kemudian sahabat tersebut datang ke Umar dan memberitahukan apa yang dilakukannya dan mimpi yang dialaminya. Umar menangis dan mengatakan: "Ya Allah, Saya akan kerahkan semua upayaku kecuali yang aku tidak mampu".
Hadits ini dishahihkan oleh al Bayhaqi, Ibnu Katsir, al Hafizh Ibnu Hajar dan lainnya.

Manfaat Hadits:
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristighatsah dengan para nabi dan wali yang sudah meninggal dengan redaksi Nida '(memanggil) yaitu (يا رسول الله).Ketika Bilal ibn al Harits al Muzani mengatakan: (استسق لأمتك) maknanya adalah: "Mohonkanlah hujan kepada Allah untuk ummat-mu", bukan ciptakanlah hujan untuk umatmu. Jadi dari sini diketahui bahwa bisa bertawassul dan beristighatsah dengan mengatakan:

"يا رسول الله, ضاقت حيلتي أدركني أو أغثني يا رسول الله".
Karena maknanya adalah tolonglah aku dengan doamu kepada Allah, selamatkanlah aku dengan doamu kepada Allah. Rasulullah bukan pencipta manfa'at atau mara bahaya, ia hanyalah sebab seseorang diberikan manfaat atau dijauhkan dari bahaya. Rasulullah saja telah menyebut hujan sebagai Mughits (penolong dan penyelamat) dalam hadits riwayat Abu Dawud dan lainnya dengan sanad yang shahih:
"اللهم اسقنا غيثا مغيثا مريئا مريعا نافعا غير ضآر عاجلا غير ءاجل".

Berarti sebagaimana Rasulullah menyebut hujan sebagai Mughits karena hujan menyelamatkan dari kesusahan dengan izin Allah, demikian pula seorang nabi atau wali menyelamatkan dari kesusahan dan kesulitan dengan seizin Allah. Jadi bisa bilang (أغثني يا رسول الله) dan semacamnya ketika bertawassul, karena keyakinan seorang muslim ketika mengatakannya adalah bahwa seorang nabi dan wali hanya sebab sedangkan pencipta manfaat dan yang menjauhkan mara bahaya secara hakiki adalah Allah, bukan nabi atau wali tersebut.

Umar yang mengetahui bahwa Bilal ibn al Harits al Muzani mendatangi kuburan Nabi, kemudian bertawassul, beristighatsah dengan mengatakan: (يا رسول الله, استسق لأمتك) yang mengandung Nida 'dan kata (استسق) tidak mengkafirkan atau memusyrikkan sahabat Bilal ibn al Harits al Muzani, sebaliknya menyetujui perbuatannya dan tidak ada seorang sahabat-pun yang mengingkarinya.


4.     Ath-Thabarani meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa Rasulullah bersabda:

"إن لله ملائكة في الأرض سوى الحفظة يكتبون ما يسقط من ورق الشجر فإذا أصاب أحدكم عرجة بأرض فلاة فليناد أعينوا عباد الله" رواه الطبراني وقال الحافظ الهيثمي: رجاله ثقات ورواه أيضا البزار وابن السني.

Maknanya: "Sesungguhnya Allah memiliki para malaikat di bumi selain hafazhah yang menulis daun-daun yang berguguran, maka jika kalian ditimpa kesulitan di suatu padang maka harus mengatakan: tolonglah aku, wahai para hamba Allah" (HR ath-Thabarani dan Al Hafizh al Haytsami mengatakan: perawi-perawinya terpercaya, juga diriwayatkan oleh al Bazzar dan Ibnu as-Sunni)

Manfaat Hadits:
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya beristi'anah dan beristighatsah dengan selain Allah, yaitu para shalihin meskipun tidak di depan mereka dengan redaksi Nida '(memanggil). An-Nawawi setelah menyebutkan riwayat Ibnu as-Sunni dalam kitabnya al Adzkar mengatakan: "Sebagian dari guru-guruku yang sangat alim pernah menceritakan bahwa pernah suatu ketika lalu hewan tunggangannya dan beliau mengetahui hadits ini lalu beliau mengucapkannya maka seketika hewan tunggangan tersebut berhenti berlari, saya-pun suatu saat bersama suatu jama'ah kemudian terlepas seekor binatang mereka dan mereka bersusah payah berusaha menangkapnya dan tidak berhasil kemudian saya mengatakannya dan seketika binatang tersebut berhenti tanpa sebab kecuali ucapan tersebut ". Ini menunjukkan bahwa mengucapkan tawassul dan istighatsah tersebut adalah praktek para ulama ahli hadits dan yang lainnya.

5.      Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dengan sanad yang hasan sebagaimana dikatakan oleh al Hafizh Ibnu Hajar bahwa al Harits bin Hassan al Bakri mengatakan kepada Rasulullah:

"أعوذ بالله ورسوله أن أكون كوافد عاد"
Maknanya: "Aku berlindung kepada Allah dan Rasul-Nya dari menjadi seperti utusan kaum 'Aad (utusan yang yustru menghancurkan kaumnya sendiri yang mengutusnya)" (HR Ahmad)

Manfaat Hadits:
Hadits ini menunjukkan dibolehkannya bertawassul dan beristighatsah meskipun dengan lafazh al Isti'adzah. Dalam hadits ini al Harits bin Hassan al Bakri meminta perlindungan (beristi'adzah) kepada Allah karena Allah adalah yang dimohoni perlindungan secara hakiki (Musta'adz bihi haqiqi), sedangkan ketika ia memohon perlindungan kepada Rasulullah karena Rasulullah adalah yang dimohoni perlindungan dengan makna sebab (Musta'adz bihi 'ala ma'na Annahu sabab). Rasulullah tidak mengkafirkannya, tidak memusyrikkannya bahkan tidak mengingkarinya sama sekali, padahal kita tahu bahwa Rasulullah tidak akan pernah mendiamkan terjadinya hal mungkar sekecil apapun. Dalam hadits ini Rasulullah tidak mengatakan: "Engkau telah musyrik karena mengatakan: (ورسوله), karena engkau telah beristi'adzah kepadaku".
6.      Al Bazzar meriwayatkan hadits Rasulullah:
"حياتي خير لكم ومماتي خير لكم, تحدثون ويحدث لكم, ووفاتي خير لكم تعرض علي أعمالكم, فما رأيت من خير حمدت الله عليه وما رأيت من شر استغفرت لكم" رواه البزار ورجاله رجال الصحيح

Maknanya: "Hidupku adalah kebaikan untuk kalian dan matiku adalah kebaikan untuk kalian, ketika aku hidup kalian melakukan banyak hal lalu dijelaskan hukumnya untuk kalian melalui aku. Matiku juga kebaikan untuk kalian, diberitahukan kepadaku amal perbuatan kalian, jika aku melihat amal kalian baik maka aku memuji Allah karenanya dan jika aku melihat ada amal kalian yang buruk aku memohonkan ampun untuk kalian kepada Allah "(HR al Bazzar dan para perawinya adalah para perawi shahih)

Manfaat Hadits:
Hadits ini menunjukkan bahwa meskipun sudah meninggal Rasulullah bisa mendoakan atau memohonkan ampun kepada Allah untuk ummatnya. Oleh karenanya diperbolehkan bertawassul dengannya, meminta didoakan olehnya meskipun ia sudah meninggal.

7.      Hadits yang diriwayatkan oleh al Bukhari dalam kitabnya al Adab al Mufrad dengan sanad yang shahih tanpa 'illat dari Abdurrahman bin Sa'ad, ia berkata: Suatu ketika kaki Ibnu Umar terkena semacam kelumpuhan (Khadar), maka salah seorang yang hadir mengatakan: ingatlah orang yang paling Anda cintai!lalu Ibnu Umar mengatakan: Yaa Muhammad. Seketika itu kaki beliau sembuh.
Manfaat Hadits:
Hadits ini menunjukkan bahwa sahabat Abdullah ibnu Umar melakukan istighatsah dengan Nida '"Yaa Muhammad (يا محمد)". Makna "يا محمد" adalah أدركني بدعائك إلى الله: tolonglah aku dengan doamu kepada Allah. Hal ini dilakukan setelah Rasulullah wafat. Ini menunjukkan bahwa bisa beristighatsah dan bertawassul dengan Rasulullah setelah beliau wafat, meskipun dengan menggunakan redaksi Nida ', jadi Nida' al Mayyit (memanggil seorang nabi dan wali yang telah meninggal) bukan syirik.
8.   Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Musa berdoa:

"رب أدنني من الأرض المقدسة رمية بحجر".
Maknanya: "Ya Allah dekatkanlah aku ke Tanah Bayt al Maqdis meskipun sejauh lemparan batu".
Kemudian Rasulullah bersabda:

"والله لو أني عنده لأريتكم قبره إلى جنب الطريق عند الكثيب الأحمر" أخرجه البخاري ومسلم
Maknanya: "Demi Allah, jika aku berada di dekat kuburan Musa niscaya akan aku perlihatkan kuburannya kepada kalian di samping jalan di daerah al Katsib al Ahmar" (HR al Bukhari dan Muslim)

Manfaat Hadits:

Tentang hadits ini al Hafizh Waliyyuddin al 'Iraqi berkata dalam kitabnya "Tharh at-Tatsrib": "Dalam hadits ini terdapat dalil kesunnahan untuk mengetahui kuburan orang-orang yang saleh untuk berziarah ke sana dan memenuhi hak-haknya".

Dan telah menjadi tradisi di kalangan para ulama Salaf dan Khalaf bahwa ketika mereka mengalami kesulitan atau ada kebutuhan mereka mendatangi kuburan orang-orang saleh untuk berdoa di sana dan mengambil berhaknya dan setelahnya permohonan mereka dikabulkan oleh Allah. Al Imam asy-Syafi'i ketika ada hajat yang ingin dikabulkan seringkali mendatangi kuburan Abu Hanifah dan berdoa di sana dan setelahnya dikabulkan doanya oleh Allah. Abu 'Ali al Khallal mendatangi kuburan Musa bin Ja'far. Ibrahim al Harbi, al Mahamili mendatangi kuburan Ma'ruf al Karkhi sebagaimana diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi dalam kitabnya "Tanggal Baghdad". Karena itu para ahli hadits seperti al Hafizh Syamsuddin Ibn al Jazari mengatakan dalam kitabnya 'Uddah al Hishn al Hashin:

"ومن مواضع إجابة الدعاء قبور الصالحين".
"Di antara tempat dikabulkannya doa adalah kuburan orang-orang yang saleh".
Al Hafizh Ibnu al Jazari sendiri sering mendatangi kuburan Imam Muslim bin al Hajjaj, penulis Shahih Muslim dan berdoa di sana sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ali al Qari dalam Syarh al Misykat.

Hikayah NAFISAH (KISAH TELADAN)

Al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi menyebutkan sebuah kisah dalam kitabnya "Al Wafa bi Ahwal al Mushthafa"-kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya 'al Maqdisi - bahwa Abu Bakr al Minqari berkata: "Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah. Kami dalam suatu kondisi dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan. Ketika tiba waktu Isya ', aku mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: "Yaa Rasulallah, al Juu' al Juu '( Wahai Rasulullah! lapar ... lapar) ", lalu aku kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku:" Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati ". Abu Bakar melanjutkan kisahnya:" Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan untuk orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada di kami. Setelah kami selesai makan, 'Alawi itu berkata: "Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, Sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian".

Dalam kisah ini, secara jelas dinyatakan bahwa menurut mereka, mendatangi makam Rasulullah untuk meminta pertolongan (al Istighotsah) adalah bisa dan baik. Siapapun tahu bahwa mereka bertiga (terutama, ath-Thabarani, seorang ahli hadits kenamaan) adalah ulama-ulama besar Islam. Kisah ini dinukil oleh para ulama termasuk ulama madzhab Hanbali dan lainnya. Mereka ini di mata ummat Islam adalah Muwahhidun (Anggota Tauhid), bahkan merupakan tokoh-tokoh besar di kalangan para Ahli Tauhid, sedangkan di mata para anti tawassul mereka dianggap sebagai ahli bid'ah dan syirik.Padahal kalau mau ditelusuri, peristiwa-peristiwa semacam ini sangatlah banyak seperti yang disebutkan sebagian pada dalil ke delapan

Sekilas Perkembangan Tasawuf dan Tarekat Di Indonesia (Supaya Kita Paham Bahwa Ulama Ahlussunnah Adalah Kaum Sufi Sejati)

Bismillâh ar-Rahman al-Rahîm.
 
Segala puji Allah Tuhan sekalian alam. Dia tidak menyerupai apapun dari makhluk-Nya. Dia tidak membutuhkan apapun dari makhluk-Nya. Dan siapapun dari makhluk-Nya selalu membutuhkan kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi Muhammad, Nabi pembawa wahyu dan kebenaran.

Dalam peta Indonesia, paling tidak ada tiga hal yang membuat penyebaran agama Islam cukup unik untuk dikaji.

Pertama; Secara geografis wilayah nusantara sangat jauh dari negara-negara Arab sebagai pusat munculnya dakwah Islam. Jaringan informasi dari satu wilayah ke wilayah lain saat itu sangat membutuhkan waktu dan tenaga. Namun demikian perkembangan Islam di Nusantara pada awal kedatangannya sangat pesat, mungkin melebihi penyebaran ke wilayah barat dari bumi ini. Metodologi dakwah, kondisi wilayah dan masyarakat Indonesia, materi-materi dakwah dan berbagai aspek lainnya dalam dakwah itu sendiri adalah di antara hal yang perlu kita pelajari.

Kedua; “Tangan-tangan ahli” dalam membawa misi dakwah Islam saat itu sangat terampil dan pleksibel. Padahal sejarah mencatat bahwa wilayah Nusantara ketika itu diduduki berbagai kerajaan yang dianggap cukup kuat memegang ortodoksi ajaran leluhur mereka. Dominasi ajaran Hindu dan Budha saat itu, hingga keyakinan-keyakinan animisme cukup mengakar di berbagai tingkatan masyarakat. Bagaimanakah olahan tangan-tangan terampil tersebut hingga membuahkan hasil yang sangat menakjubkan?!

Ketiga; Persentuhan budaya yang sama sekali berbeda antara budaya orang-orang wilayah Nusantara (Melayu) dengan umunya orang-orang timur tengah menghasilkan semacam budaya baru. Budaya baru ini tidak sangat cenderung ke timur tengah juga tidak sangat cenderung kepada ortodoksi wilayah setempat. Namun kelebihan yang ada pada budaya baru ini ialah bahwa nilai-nilai --terutama akidah-- ajaran Islam telah benar-benar berhasil ditanamkan oleh para pendakwahnya.

• • •

Di wilayah Aceh, pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah datang salah seorang keturunan Rasulullah, yang sekarang nama beliau diabadikan dengan sebuah Institut Agam Islam Negeri (IAIN), Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Beliau bernama Muhammad ibn ‘Ali ibn Hasan ibn Muhammad al-Raniri al-Qurasyi al-Syafi’i. Sebelum ke nusantara beliau pernah belajar di Tarim Hadramaut Yaman kepada para ulama terkemuka di sana. Salah satunya kepada al-Imam Abu Hafsh ‘Umar ibn ‘Abdullah Ba Syaiban al-Hadlrami. Ditangan ulama besar ini, al-Raniri masuk ke wilayah tasawuf melalui tarekat al-Rifa’iyyah, hingga menjadi khalifah dalam tarekat ini.

Tarekat al-Rifa’iyyah dikenal sebagai tarekat yang kuat memegang teguh akidah Ahlussunnah. Para pemeluknya di dalam fikih dikenal sebagai orang-orang yang konsisten memegang teguh madzhab asy-Syafi’i. Sementara dalam akidah sangat kuat memegang teguh akidah Asy’ariyyah. Terhadap akidah hulûl dan wahdah al-wujûd tarekat ini sama sekali tidak memberi ruang sedikitpun. Hampir seluruh orang yang berada dalam tarekat al-Rifa’iyyah memerangi dua akidah ini. Konsistensi ini mereka warisi dari perintis tarekat al-Rifa’iyyah sendiri; yaitu al-Hasîb al-Nasîb as-Sayyid al-Imam Ahmad al-Rifa’i.
Ketika kesultanan Aceh dipegang oleh Iskandar Tsani, al-Raniri diangkat menjadi “Syaikh al-Islâm” bagi kesultanan tersebut. Ajaran Ahlussunnah yang sebelumnya sudah memiliki tempat di hati orang-orang Aceh menjadi bertambah kuat dan sangat dominan dalam perkembangan Islam di wilayah tersebut, juga wilayah Sumatera pada umumnya. Faham-faham akidah Syi’ah, terutama akidah hulûl dan ittihâd, yang sebelumnya sempat menyebar di wilayah tersebut menjadi semakin diasingkan. Beberapa karya yang mengandung faham dua akidah tersebut, juga para pemeluknya saat itu sudah tidak memiliki tempat. Bahkan beberapa kitab aliran hulûl dan ittihâd sempat dibakar di depan Majid Baiturrahman.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa di bagian ujung sebelah barat Indonesia faham akidah Ahlussunnah dengan salah satu tarekat mu’tabarah sudah memiliki dominasi yang cukup besar dalam kaitannya dengan penyebaran Islam di wilayah Nusantara.

• • •

Di Palembang Sumatera juga pernah muncul seorang tokoh besar. Tokoh ini cukup melegenda dan cukup dikenal di hampir seluruh daratan Melayu. Dari tangannya lahir sebuah karya besar dalam bidang tasawuf berjudul Siyar al-Sâlikîn Ilâ ‘Ibâdah Rabb al-‘Âlamîn. Kitab dalam bahasa Melayu ini memberikan kontribusi yang cukup besar dalam perkembangan tasawuf di wilayah Nusantara. Dalam pembukaan kitab yang tersusun dari empat jilid tersebut penulisnya mengatakan bahwa tujuan ditulisnya kitab dengan bahasa Melayu ini agar orang-orang yang tidak dapat memahami bahasa Arab di wilayah Nusantara dan sekitarnya dapat mengerti tasawuf, serta dapat mempraktekan ajaran-ajarannya secara keseluruhan. Tokoh kita ini adalah Syaikh ‘Abd ash-Shamad al-Jawi al-Palimbani yang hidup di sekitar akhir abad dua belas hijriah. Beliau adalah murid dari Syaikh Muhammad Samman al-Madani; yang dikenal sebagai penjaga pintu makam Rasulullah.

Kitab Siyar al-Sâlikin sebenarnya merupakan “terjemahan” dari kitab Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn, dengan beberapa penyesuaian penjelasan. Hal ini menunjukan bahwa tasawuf yang diemban oleh Syaikh ‘Abd ash-Shamad adalah tasawuf yang telah dirumuskan oleh Imam al-Ghazali. Dan ini berarti bahwa orientasi tasawuf Syaikh ‘Abd al-Shamad yang diajarkannya tersebut benar-benar berlandaskan akidah Ahlussunnah. Karena, seperti yang sudah kita kenal, Imam al-Ghazali adalah sosok yang sangat erat memegang teguh ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah.

Tentang sosok al-Ghazali, sudah lebih dari cukup untuk mengenal kapasitasnya dengan hanya melihat karya-karya agungnya yang tersebar di hampir seluruh lembaga pendidikan Islam, baik formal maupun non formal di berbagai pelosok Indonesia. Terutama bagi kalangan Nahdliyyin, al-Ghazali dengan karyanya Ihyâ’ Ulûm al-Dîn adalah rujukan standar dalam menyelami tasawuf dan tarekat. Secara “yuridis” hampir seluruh ajaran tasawuf terepresentasikan dalam karya al-Ghazali ini. Bagi kalangan pondok pesantren, terutama pondok-pondok yang mengajarkan kitab-kitab klasik (Salafiyyah), bila seorang santri sudah masuk dalam mengkaji Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn berarti ia sudah berada di “kelas tinggi”. Karena sebenarnya di lingkungan pesantren kitab-kitab yang dikaji memiliki hirarki tersendiri. Dan untuk menaiki hirarki-hirarki tersebut membutuhkan proses waktu yang cukup panjang, terlebih bila ditambah dengan usaha mengaplikasikannya dalam tindakan-tindakan. Materi kitab yang dikaji dan sejauh mana aplikasi hasil kajian tersebut dalam prilaku keseharian biasanya menjadi tolak ukur untuk melihat “kelas-kelas” para santri tersebut.

• • •

Wali songo yang tidak pernah kita lupakan; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Gresik, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati adalah sebagai tokoh-tokoh terkemuka dalam sejarah penyebaran Islam di wilayah Nusantara. Tokoh-tokoh melegenda ini hidup di sekitar pertengahan abad sembilan hijriah. Artinya Islam sudah bercokol di wilyah Nusantara ini sejak sekitar 600 tahun lalu, bahkan mungkin sebelum itu. Sejarah mencatat bahwa para pendakwah yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India yang kebanyakan nenek moyang mereka adalah berasal dari Hadlramaut Yaman. Negara Yaman saat itu, bahkan hingga sekarang, adalah “gudang” al-Asyrâf atau al-Habâ’ib; ialah orang-orang yang memiliki garis keturunan dari Rasulullah. Karena itu pula para wali songo yang tersebar di wilayah Nusantara memiliki garis keturunan yang bersambung hingga Rasulullah.

Yaman adalah pusat kegiatan ilmiah yang telah melahirkan ratusan bahkan ribuan ulama sebagai pewaris peninggalan Rasulullah. Kegiatan ilmiah di Yaman memusat di Hadlramaut. Berbeda dengan Iran, Libanon, Siria, Yordania, dan beberapa wilayah di daratan Syam, negara Yaman dianggap memiliki tradisi kuat dalam memegang teguh ajaran Ahlussunnah. Mayoritas orang-orang Islam di negara ini dalam fikih bermadzhab Syafi’i dan dalam akidah bermadzhab Asy’ari. Bahkan hal ini diungkapkan dengan jelas oleh para para tokoh terkemuka Hadlramaut sendiri dalam karya-karya mereka. Salah satunya as-Sayyid al-Imam ‘Abdullah ibn ‘Alawi al-Haddad, penulis ratib al-Haddad, dalam Risâlah al-Mu’âwanah mengatakan bahwa seluruh keturunan as-Sâdah al-Husainiyyîn atau yang dikenal dengan Al Abi ‘Alawi adalah orang-orang Asy’ariyyah dalam akidah dan Syafi’iyyah dalam fikih. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah inilah yang disebarluaskan oleh moyang keturunan Al Abi ‘Alawi tersebut, yaitu al-Imâm al-Muhâjir as-Sayyid Ahmad ibn ‘Isa ibn Muhammad ibn ‘Ali ibn al-Imâm Ja’far ash-Shadiq. Dan ajaran Asy’ariyyah Syafi’iyyah ini pula yang di kemudian hari di warisi dan ditanamkan oleh wali songo di tanah Nusantara.

• • •

Suatu hari wali songo berkumpul membahas hukuman yang pantas untuk dijatuhkan kepada Syaikh Siti Jenar. Orang terakhir disebut ini adalah orang yang dianggap merusak tatanan akidah dan syari’ah. Ia membawa dan menyebarkan akidah hulûl dan ittihâd dengan konsepnya yang dikenal dengan “Manunggaling kawula gusti”. Konsep ajaran al-Hallaj tentang ittihâd dan hulûl hendak dihidupkan oleh Syaikh Siti Jenar di kepulauan Jawa. Al-Hallaj dahulu di Baghdad dihukum pancung dengan kesepakatan dan persetujuan para ulama, termasuk dengan rekomendasi al-Muqtadir Billah; sebagai khalifah ketika itu. Kita tidak perlu mendiskusikan adakah unsur politis yang melatarbelakangi hukuman pancung terhadap al-Hallaj ini atau tidak?! Secara sederhana saja, sejarah telah mencatatkan bahwa yang membawa al-Hallaj ke hadapan pedang kematian adalah karena akidah hulûl dan ittihâd yang dituduhkan kepadanya.

Setelah perundingan yang cukup panjang, wali songo memutuskan bahwa tidak ada hukuman yang setimpal bagi kesesatan Syaikh Siti Jenar kecuali hukum bunuh, persis seperti yang telah dilakukan oleh para ulama di Baghdad terhadap al-Hallaj. Di sini kita juga tidak perlu repot memperdebatkan apakah latar belakang politis yang membawa Syaikh Siti Jenar kepada kematian?! Terlebih dengan mencari kambing hitam dari para penguasa saat itu atau dari para wali songo sendiri yang “katanya” merasa dikalahkan pengaruhnya oleh Syaikh Siti Jenar. Pernyataan semacam ini jelas terlalu dibuat-buat, karena sama dengan berarti menyampingkan nilai-nilai yang telah diajarkan dan diperjuangkan wali songo itu sendiri. Juga dapat pula berarti menilai bahwa keikhlasan-keikhlasan para wali songo tersebut sebagai sesuatu yang tidak memiliki arti, atau istilah lain melihat mereka dengan pandangan su’uzhan (berburuk sangka). Tentunya, jangan sampai kita terjebak di sini.

• • •

Pasca wali songo, pada permulaan abad ke tiga belas hijriah, di salah satu kepulauan di wilayah Nusantara lahir sosok ulama besar. Di kemudian hari tokoh kita ini sangat dihormati tidak hanya oleh orang-orang Indonesia dan sekitarnya, tapi juga oleh orang-orang timur tengah, bahkan oleh dunia Islam secara keseluruhan. Beliau menjadi guru besar di Masjid al-Haram dengan gelar “Sayyid ‘Ulamâ’ al-Hijâz”, juga dengan gelar “Imâm ‘Ulamâ’ al-Haramain”. Berbagai hasil karya yang lahir dari tangannya sangat populer, terutama di kalangan pondok pesantren di Indonesia. Beberapa judul kitab, seperti Kâsyifah al-Sajâ, Qâmi’ al-Thughyân, Nûr al-Zhalâm, Bahjah al-Wasâ’il, Mirqât Shu’ûd al-Tashdîq, Nashâ’ih al-‘Ibâd, dan Kitab Tafsir al-Qur’an Marâh Labîd adalah sebagian kecil dari hasil karyanya. Kitab-kitab ini dapat kita pastikan sangat akrab di lingkungan pondok pesantren. Santri yang tidak mengenal kitab-kitab tersebut patut dipertanyakan “kesantriannya”.

Tokoh kita ini tidak lain adalah Syaikh Nawawi al-Bantani. Kampung Tanara, daerah pesisir pantai yang cukup gersang di sebelah barat pulau Jawa adalah tanah kelahirannya. Beliau adalah keturunan ke-12 dari garis keturunan yang bersambung kepada Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) Cirebon. Dengan demikian dari silsilah ayahnya, garis keturunan Syaikh Nawawi bersambung hingga Rasulullah.
Perjalanan ilmiah yang beliau lakukan telah menempanya menjadi seorang ulama besar. Di Mekah beliau berkumpul di “kampung Jawa” bersama para ulama besar yang juga berasal dari Nusantara, dan belajar kepada yang lebih senior di antara mereka. Di antaranya kepada Syaikh Khathib Sambas (dari Kalimantan) dan Syaikh ‘Abd al-Ghani (dari Bima NTB). Kepada para ulama Mekah terkemuka saat itu, Syaikh Nawawi belajar di antaranya kepada as-Sayyid Ahmad Zaini Dahlan (mufti madzhab Syafi’i), as-Sayyid Muhammad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh ‘Abd al-Hamid ad-Dagestani, dan lainnya.
Dari didikan tangan Syaikh Nawawi di kemudian hari bermunculan syaikh-syaikh lain yang sangat populer di Indonesia. Mereka tidak hanya sebagai tokoh ulama yang “pekerjaannya” bergelut dengan pengajian saja, tapi juga merupakan tokoh-tokoh terdepan bagi perjuangan kemerdekaan RI. Di antara mereka adalah; KH. Kholil Bangkalan (Madura), KH. Hasyim Asy’ari (pencetus gerakan sosial NU), KH. Asnawi (Caringin Banten), KH. Tubagus Ahmad Bakri (Purwakarta Jawa Barat), KH. Najihun (Tangerang), KH. Asnawi (Kudus) dan tokoh-tokoh lainnya.

Pada periode ini, ajaran Ahlussunnah; Asy’ariyyah Syafi’iyyah di Indonesia menjadi sangat kuat. Demikian pula dengan penyebaran tasawuf yang secara praktis berafiliasi kepada Imam al-Ghazali dan Imam al-Junaid al-Baghdadi, saat itu sangat populer dan mengakar di masyarakat Indonesia. Penyebaran tasawuf pada periode ini diwarnai dengan banyaknya tarekat-tarekat yang “diburu” oleh berbagai lapisan masyarakat. Dominasi murid-murid Syaikh Nawawi yang tersebar dari sebelah barat hingga sebelah timur pulau Jawa memberikan pengaruh besar dalam penyebaran ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Ajaran-ajaran di luar Ahlussunnah, seperti faham “non madzhab” (al-Lâ Madzhabiyyah) dan akidah hulûl atau ittihâd serta keyakinan sekte-sekte sempalan Islam lainnya, memiliki ruang gerak yang sangat sempit sekali.

• • •

Di wilayah timur Nusantara ada kisah melegenda tentang seorang ulama besar, tepatnya dari wilayah Makasar Sulawesi. Sosok ulama besar tersebut tidak lain adalah Syaikh Yusuf al-Makasari. Agama Islam masuk ke wilayah ini pada sekitar permulaan abad sebelas hijriah. Dua kerajaan kembar; kerajaan Goa dan kerajaan Talo yang dipimpin oleh dua orang kakak adik memiliki andil besar dalam penyebaran dakwah Islam di wilayah tersebut. Saat itu banyak kerajaan-kerajaan kecil yang menerima dengan lapang dada akan kebenaran ajaran-ajaran Islam. Tentu perkembangan dakwah ini juga didukung oleh kondisi geografis wilayah Sulawesi yang sangat strategis. Di samping sebagai tempat persinggahan para pedagang yang mengarungi lautan, daerah Sulawesi sendiri saat itu sebagai penghasil berbagai komuditas, terutama rempah-rempah dan hasil bumi lainnya.

Di kemudian hari kelahiran Syaikh Yusuf menambah semarak keilmuan, terutama ajaran tasawuf praktis yang cukup menjadi primadona masyarakat Sulawesi saat itu. Syaikh Yusuf sendiri di samping seorang sufi terkemuka, juga seorang alim besar multi disipliner yang menguasai berbagai macam disiplin ilmu agama. Latar belakang pendidikan Syaikh Yusuf menjadikannya sebagai sosok yang sangat kompeten dalam berbagai bidang. Tercatat bahwa beliau tidak hanya belajar di daerahnya sendiri, tapi juga banyak melakukan perjalanan (rihlah ‘ilmiyyah) ke berbagai kepulauan Nusantara, dan bahkan sempat beberapa tahun tinggal di negara timur tengah hanya untuk memperdalam ilmu agama.
Perjalanan ilmiah Syaikh Yusuf di kepulauan Nusantara di antaranya ke Banten dan bertemu dengan Sultan ‘Abd al-Fattah (Sultan Ageng Tirtayasa), yang merupakan putra mahkota kerajaan Banten saat itu. Dengan orang terakhir ini Syaikh Yusuf cukup akrab, bahkan dengannya bersama-sama memperdalam ilmu agama. Selain ke Banten, Syaikh Yusuf juga berkunjung ke Aceh dan bertemu dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri. Darinya, Syaikh Yusuf mendapatkan ijazah beberapa tarekat, di antaranya tarekat al-Qadiriyyah. Walaupun sebagian ahli sejarah mempertanyakan kebenaran adanya pertemuan antara Syaikh Yusuf dengan Syaikh Nuruddin ar-Raniri, namun hal penting yang dapat kita tarik sebagai benang merah ialah bahwa jaringan tarekat saat itu sudah benar-benar merambah ke berbagai kepulauan Nusantara. Dan bila benar bahwa Syaikh Yusuf pernah bertemu dengan Syaikh Nuruddin al-Raniri serta mengambil tarekat darinya, maka dapat dipastikan bahwa ajaran-ajaran yang disebarkan Syaikh Yusuf di bagian timur Nusantara adalah ajaran Ahlussunnah; dalam akidah madzhab Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan dalam fikih madzhab Imam Muhammad ibn Idris as-Syafi’i.
Kepastian bahwa Syaikh Yusuf seorang Sunni tulen juga dapat dilihat dari perjalanan ilmiah beliau yang dilakukan ke Negara Yaman. Di negara ini Syaikh Yusuf belajar kepada tokoh-tokoh terkemuka saat itu. Di negara ini pula Syaikh Yusuf mendapatkan berbagai ijazah tarekat mu’tabarah. Di antaranya tarekat al-Naqsyabandiyyah, tarekat al-Syatariyyah, tarekat al-Sadah al-Ba’alawiyyah, tarekat al-Khalwatiyyah dan lainnya.

Latar belakang keilmuan Syaikh Yusuf ini menjadikan penyebaran tasawuf di di wilayah Sulawesi benar-benar dilandaskan kepada akidah Ahlussunnah. Ini dikuatkan pula dengan karya-karya yang ditulis Syaikh Yusuf sendiri, bahwa orientasi karya-karya tersebut tidak lain adalah Syafi’iyyah Asy’ariyyah. Kondisi ini sama sekali tidak memberikan ruang kepada akidah hulûl atau ittihâd untuk masuk ke wilayah “kekuasaan” Syaikh Yusuf al-Makasari.

Haflatul Wada Alumni Ke-37 Diniyah Ulya Sullamul Ulum Tahun 2009